Pengikut

Jumat, 30 Januari 2015

ASAL-USUL DESA BODELOR

Syahdan diceritakan, pada +/- Tahun 1445 Masehi. Pangeran Walangsungsang ( Mbah Kuwu Cirebon ) setelah belajar agama islam diperguruan Amparan Jati, dengan Syekh Datul Kahfi sebagai gurunya memerintahkan Mbah Kuwu Cerbon untuk segera mengadakan dakwah islamiyah di seluruh tatar Cerbon. Diantaranya wilayah-wilayah yang dikunjunginya adalah wilayah Perdikan Plered, Megu dan Plumbon. Waktu itu dari persisir Lemahwungkuk sampai Perdikan Plered masih berada dalam kekuasaan Kadipaten Wanagiri (Palimanan) Kerajaan Galuh. Setelah berhasil menyampaikan dakwah islamiyah kepada Ki Gede Plered, perjalanan menuju Perdikan Megu dan Ki Gede Megu pun menerima dakwah islamiyah secara sukarela. Dan pada waktu itu Ki Gede Megu menyarankan agar Mbah Kuwu Cerbon melanjutkan dakwah islamiyah nya ke Ki Gede Plumbon. Dan untuk menuju kesana agar menggunakan jalan pintas yaitu  memotong jalan ke arah barat melintasi hutan belantara yang masih asri dan belum terjamah oleh tangan manusia.
Diceritakan, setelah masuk dalam hutan, karena waktu sholat dzuhur  telah tiba, maka ketika menemukan sebuah sungai, Mbah Kuwu Cerbon mengambil air wudhu. Sampai sekarang sungai tersebut diberi nama Sungai Kaliwulu ( sungai tempat berwudhu ). Dan tempat bermuaranya sungai itu diberi nama Desa Kaliwulu.
Setelah berwudhu, Mbah Kuwu Cerbon mencari tanah yang lebih tinggi untuk melaksanakan sholat dzuhur. Setelah itu beliau melaksanakan sholat hajat dua rakaat, dan berdoa : “semoga wilayah hutan ini, yang airnya bening, segar dan udaranya sejuk ini agar tetap lestari. Dan kelak dikemudian hari, bila dihuni oleh anak cucunya, akan diberikan kesejahteraan, kebahagiaan, kejayaan, dan kebesaran berdasarkan Syareat Islam.
Setelah selesai shalat dzuhur, Mbah Kuwu Cerbon memberi nama hutan ini dengan nama HUTAN WANAJAYA , artinya hutan yang lestari dan jaya makmur sampai akhir jaman (sebagai bukti, sampai sekarang disebelah barat sungai Temiyang. Terdapat sebuah kampung yang disebut Blok Wanajaya, yang sekarang wilayah tersebut termasuk ke dalam Desa Marikangen).
Peristiwa ini terjadi pada +/- Tahun 1445 Masehi, lalu Mbah Kuwu Cerbon melanjutkan perjalanan ke arah barat menuju wilayah Plumbon.
Pada awal berdirinya Kerajaan Cerbon yaitu +/- Tahun 1479 Masehi, hutan Wanajaya, atas saran Mbah Kuwu Cerbon, oleh Sunan Gunung Jati selaku Raja Cerbon, hutan ini ditetapkan sebagai hutan lindung yang tidak boleh diganggu keberadaannya, kecuali bila sudah berusia diatas 1000 tahun.

PERNIKAHAN  PANGERAN WIRASABA DAN NYI MAS AYU NAINDRA LAMARAN SARI
 
Syahdan diceritakan, pada +/- Tahun 1574 Masehi, setelah hari raya Idhul Fitri, Keraton Pakungwati Cerbon pimpinan Panembahan Ratu seperti biasa mengadakan halal bi halal dan silaturrahmi seluruh keluarga kerajaan dan keturunan Sunan Gunung Jati, baik yang di pusat maupun yang berbeda didaerah. Dan acara ini diselenggarakan tepatnya setelah acara “Grebeg Syawal” yaitu tanggal 8 Syawal 994 Hijriyah.
Setelah silaturrahmi semua keturunan Sunan Gunung Jati Selesai, Panembahan Ratu mengumpulkan keluarga khusus keturunan Sunan Gunung Jati dari Nyi Tepasari, yaitu : Nyi Mas Wanawati Raras beserta anak-anaknya dan saudara-saudaranya. Para paman dan bibi beserta anak-anakanya, yang merupakan keturunan dari Pangeran Pasarean, yaitu Pangeran Kesatrian, Pangeran Losari,Pangeran Swarga ( sudah meninggal +/- Tahun 1568 Masehi., maka beliau tidak hadir. Pangeran Swarga dinobatkan sebagai Adipati Cirebon ke II (dua) menggantikan ayahnya Pangeran Pasarean). Nyi Ratu Emas, Pangeran Wirasuta, Pangeran Sentana Panjuanan dan Pangeran Wiranegara / Pangeran Weruju.).
Dari pertemuan keluarga besar Sunan Gunung Jati dari Nyi Tepasari ini, salah satu butir keputusannya adalah sepakat demi untuk menyambung dan mengikat tali persaudaraan bagi keluarga keturunan Sunan Gunung jati dari Nyi Tepasari yang wilayahnya berjauhan, maka diadakan ikatan pernikahan antar keluarga keturunan Sunan Gunung Jati dari Nyi Tepasari.
Dan pada saat itu juga diputuskan, bahwa Pangeran Wirasaba anak dari Pangeran Swarga dan Nyi Wanawati Raras atau juga merupakan adik kandung Panembahan Ratu akan dinikahkan dengan Nyi Mas Ayu Naidra Lamaran Sari, anak bungsu dari Pangeran Losari dan Nyi Silih Asih.
Maka pada hari jumat, ba’da sholat jumat tanggal 5 Desember 1574 Masehi, maka bertepatan dengan tanggal 11 Syawal Tahun 994 Hijriyah, diadakan pernikahan antara pangeran Wirasaba (Putra Pangeran Swarga) yang berusia 23 tahun dengan Nyi Mas Ayu Naidra Lamaran Sari (Putri Pangeran Losari) yang juga berusia 23 tahun.
Penembahan Ratu sebagai saudara kandung Pangeran Wirasaba, merasa sangat bahagia. Dan untuk membuktikan kebahagiaan itu, beliau berkenan memberikan hadiah kepada kedua mempelai berupa sebuah kawasan hutan yaitu, Hutan Wanajaya dan seekor Kerbau Bule Raksasa, bukan untuk dipotong melainkan untuk dikelola tenaganya dalam rangka membuka kawasan hutan tersebut kelak.

KEPERIBADIAN  
 PANGERAN WIRASABA DAN NYI MAS AYU NAINDRA LAMARAN SARI
Perlu diketahui, meskipun usia Pangeran Wirasaba dan Nyi Mas Ayu Naindra Lamaran Sari itu tidak berbeda yaitu masing-masing 23 tahun, namun mental dan kepribadiannya berbeda jauh, ini disebabkan karena keduanya memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang sangat berbeda. Pangeran Wirasaba adalah anak seorang Adipati atau adik kandung Panembahan Ratu (Raja Cirebon Ke II), yang tentu saja hidupnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan serba kecukupan, maka sifat manja dan kurang teruji mentalnya sangat terlihat mencolok. Sedangkan Nyi Mas Ayu Naidra Lamaran Sari, meskipun putri dari seorang Adipati di Losari namun beliau tekun belajar dan senang bekerja dan sudah biasa melakukan pekerjaan sendiri. Pelajaran dan pekerjaan yang beliau tekuni adalah bidang pertanian. Sesuai dengan keadaan wilayah Losari yang tanah pertaniannya lebih luas daripada tanah daratannya. Ditambah lagi, ayahnya yaitu Pangeran Losari atau Pangeran Angkawijaya, menggembleng anaknya secara khusus dibidang pertanian ini. Beliau tidak memperlakukan anaknya sebagai seorang anak pembesar, melainkan mendidiknya seperti layaknya anak dari orang biasa, sehingga anaknya (  Nyi Mas Ayu Naidra Lamaran Sari) tumbuh sebagai anak yang tegar, tidak manja, Mandiri dan pekerja keras.

 BABAD HUTAN (ALAS) WANAJAYA DAN BERDIRINYA PEDUKUHAN BODE

Setelah masa bulan madu adiknya (kedua mempelai) sudah mencapai tujuh bulan, Panembahan Ratu (Raja Cerbon ke II) memerintahkan keduanya yaitu, Pangeran Wirasaba dan Nyi Mas Ayu Naindra Lamaran Sari, untuk segera membuka hutan dan mendirikan pedukuhan.
Pada hari selasa pagi, tanggal 1 Juli 1575 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 30 Rabiul Akhir tahun 995 Hijriyah, dengan didampingi oleh ibunya (Nyi Mas Wanawati Raras) dan adik kakeknya (Nyi Mas Gandasari) yang masih perkasa meskipun usianya sudah menacapai 75 tahun. Yang sekaligus pula wakil dari Panembahan Ratu yang akan meresmikan Pedukuhan dan melantik kepala Dukuhnya, berangkat menuju hutan Wanajaya, dengan diikuti oleh dua regu prajurit keraton yang masing-masing dipimpin oleh Raden Bayabadra dan Raden Jumantri. Para prajurit inilah yang akan bekerja untuk membuka / menebang hutan yang luasnya hampir mencapai 5 hektar, menurut ukuran sekarang.
Dalam rombongan itupun ikut pula adik dari Nyimas Wanawati yaitu Pangeran Sedang Garudaatau yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mantro dan sahabat karibnya bernama Tuan Ahmad. Tuan Ahmad adalah seorang saudagar dari arab yang juga seorang Da’i (penyebar agama islam). Kehadirannya atas restu dan atas permintaan Penembahan Ratu untuk membina umat islam di wilayah baru itu.
Atas petunjuk dari Panembahan Ratu, Rombongan ini memulai perjalanannya dari rumah Ki Gede Kaliwulu menuju hutan Wanajaya dengan menyusuri sungai Kaliwulu. Tempat utama yang dituju adalah tempat tempat dimana dulu Mbah Kuwu Cerbon sholat dan bermunajat kepada Allah SWT, yaitu sebuah dataran yang agak tinggi, banyak ditumbuhi pohon rindang, berhawa sejuk, berair bening dan segar.
Rombongan terdepan adalah para prajurit yang berjalan kaki, diikuti keluarga Keraton yang menaiki kuda berjalan pelan karena melewati pinggiran sungai yang masih banyak ditumbuhan liar, yang harus dibabad terlebih dahulu oleh para prajurit . dan dibelakangnya ada putra Ki Gede Kaliwulu yang menjadi petunjuk jalan, yang berjalan sambil menuntun KERBAU BULE RAKSASA (Kebo Gede, Bahasa Jawa) hadiah pernikahan dari Panembahan Ratu. Selang beberapa waktu sebelum dzuhur, lokasi yang dicari sudah ditemukan. Nyi Mas Gandasari lalu naik ke dataran tinggi itu dan bersujud syukur ke hadirat Allah SWT.


Benar apa yang dikatakan ramanya, yaitu Mbah Kuwu Cerbon yang sekarang sudah wafat, bahwa tempat itu begitu sejuk dan airnya bening segar.
Usai sujud syukur, Nyi Mas Gandasari selaku pemimpin rombongan memerintahkan prajurit dan anggota rombongan lainnya untuk beristirahat. Seorang prajurit yang mungkin berasal dari Tegal memberitahukan kepada rekan-rekannya dengan mengucapkan : ayo kabeh pada glelengan ! (mari semua pada beristirahat sambil tiduran), ucapan itu sampai terdengar oleh Nyi Mas Gandasari. Setelah itu beliau berkata : “Wahai sekalian, saksikan, bukit ini mulai sekarang aku beri nama Bukit Gleleng”
Nama Gleleng sampai sekarang menjadi nama sebuah tempat pemakaman umum, yaitu TPU Si Gleleng. Sedangkan tempat berkholwatnya Mbah Kuwu Cerbon dan tempat sujud Syukurnya Nyi Mas Gandasari , oleh masyarakat setempat diberi nama Maesan Watu, karena ditempat itu sekarang terdapat petilasan yang berupa kuburan atau makam yang bernisan dari batu.  
Bukit Gleleng oleh Nyi Mas Gandasari dijadikan posko pembukaan / penebangan hutan Wanajaya. Sedangkan untuk tempat tinggal keluarga keraton dan para prajurit dibuat bangunan rumah dan barak-barak disebelah timur sungai. Lalu Nyi Mas Gandasari memberi nama lokasi itu dengan nama : “UMAH RINTIS” yang berarti : “Rumah Pertama”. Masyarakat sekarang menyebutnya Tumarintis.
Pagi, hari rabu tanggal 2 Juli tahun 1575 Masehi atau 995 Hijriyah, Nyi Mas Gandasari Memimpin para prajurit menebang hutan disebelah barat bukit Gleleng dan Nyi Mas Wanawati memimpin yang lainnya mengadakan dapur umum. Nyi Mas Ayu Naindra Lamaran Sari mengeluarkan Periuk Tanah Besar (Pendil Besar, bahasa jawa) yang merupakan pemberian dari Ibu nya yang bernama Nyi Silih Asih. Pendil besar ini agak antik. Karena beras yang ditanak cepat  masak dan nasinya mekar, seolah-olah nasi tersebut tidak habis-habis dimakan oleh semua anggota rombongan.
Sementara itu, putra Ki Gede Kaliwulu sibuk menjalankan tugasnya sebagai seorang ahli kayu, yaitu membikin bajak (weluku, bahasa jawa). Yang nantinya akan dipergunakan untuk membajak sawah yang luasnya hampir +/- 5 hektar untuk ukuran sekarang. Bajak sengaja dibuat agak besar, karena yang akan menariknya adalah seekor Kerbau Bule Raksasa. Panjang sawah yanga akan dibikin rencananya adalah 1000 depa atau 500 meter, sedangkan lebarnya tidak ditentukan, hanya saja bila nanti ditemukan sebuah saluran air maka penebangan dihentikan sampai disitu.


Dua hari kemudian, hutan yang dipersiapkan untuk lahan sawah itu telah selesai dan bersih, tinggal dibajak saja.
Pagi, hari jumat tanggal 4 Juli tahun 1575 Masehi, Nyi Mas Gandasari mengistirahatkan prajurit-prajuritnya, karena mayoritas rombongan yang laki-laki itu akan melaksanakan sholat jumat.
Setelah shalat jumat, pekerjaan pembajakan sawah segera dimulai. Pekerjaan ini sangat berat , karena dengan sebuah bajak harus menyelesaikan sawah yang luasnya hampir 5 hektar, dalam 1 hari 1 malam.
Hari sabtu sore, saat waktu ashar tiba pembajakan sawah selesai sudah. Kerbau Bule Raksasa yang sangat perkasa dan berjasa itu sangat melelahkan dan kecapean. Dan tanpa permisi kepada siapapun si kerbau pergi meninggalkan rombongan, berjalan kearah selatan menyusuri sungai kecil yang merupakan batasan sawah dan daratan disebelah baratnya, hingga sampai ke mata airnya, yaitu sebuah belik (mata air) yang sampai sekarang, oleh masyarakat setempat belik itu diberi nama belik “Ki Bean”.
Karena terlalu lelah dan capeknya, Kerbau Bule Raksasa yang sangat perkasa dan berjasa itu berkubang sampai tertidur ditempat itu. Tanah belik yang dikubangi Sang Kerbau sampai ambles, hingga tapaknya sampai sekarang masih dapat dilihat (di blok Kedung Gondang, Desa Bodelor).
Sementara itu, Nyi Mas Gandasari yang sedang berkumpul dengan seluruh rombongan, baru sadar bahwa sang Kerbau Bule Raksasa telah hilang entah kemana. Kerbau Wasiat hadiah dari Panembahan Ratu itu jelas jangan sampai hilang, apalagi sampai dimakan binatang buas. Nanti apa kata Panembahan Ratu. Untuk itu harus dicari sampai dapat karena rencananya peresmian pedukuhan dan pelantikan kuwu akan diadakan setelah sholat isya, hari itu juga.
Setelah dicari ke seluruh sudut dilokasi itu, barulah datang salah seorang prajurit dengan tergopoh-gopoh mengadap dan melaporkan kepada Nyi Mas Gandasari, bahwa dirinya telah menemukan sang kerbau sedang berkubang sambil tertidur, entah masih hidup atau tidak. mendengar  laporan itu Nyi Mas Gandasari segera menuju tempat yang dimaksud oleh prajurit tersebut. Betul juga apa yang disampaikan oleh prajurit tadi, bahwa sang kerbau sedang berkubang sambil tertidur. Merasa ada tuannya datang ditempat itu, sang kerbau terbangun dan menghampiri Nyi Mas Gandasari. Lalu Nyi Masa Gandasari menuntun Sang Kerbau Bule Rakasasa tersebut meninggalkan tempat itu.
Setelah shalat magrib, Nyi Mas Gandasari mengumpulkan keluarga keraton dan memusyawarahkan mengenai apa nama pedukuhan yang telah dimulai penebangannya itu.
Hasil musyawarah menetapkan, karena jasa besar Kerbau Bule Raksasa yang telah membajak sawah, dan untuk mengenang jasa Kerbau Bule Raksasa tersebut, maka pedukuhan itu diberi nama pedukuhan “KEBO GEDE” (Kerbau Besar , bahasa indonesia). Namun untuk memudahkan penyebutannya, maka di singkat menjadi “BODE” kepala pedukuhannya disebut Ki Kuwu Bode, dan setelah pedukuhan ini berubah menjadi tanah perdikan, sebutan Ki Kuwu Bode berubah menjadi Ki Gede Bode. Dan sawah yang baru dibuka itu, yang merupakan tanah kelungguhan atau tanah bengkok untuk istirahat sekarang, diberi nama :”SAWAH GEDE”.
Dan detik-detik yang ditunggu-tunggu telah tiba, yaitu pelantikan kepala pedukuhan dan peresmian pedukuhan baru yang berada di bawah kekuasaan kerajaan cirebon.
Upacara dimulai, para prajurit dan rombongan lainnya berbaris bershaf. Nyi Mas Gandasari berdiri di depannya menghadap ke arah barisan upacara tadi. Dibelakangnya berdiri sambil berbaris para keluarga keraton dan tak lupa sang Kerbau Bule Raksasa yang gagah perkasa berdiri tegak disamping agak kebelakang Nyi Mas Gandasari.
Dan Nyi Mas Gandasari menyampaikan pengumuman resminya. “Wahai para prajurit, dengan disertai rasa syukur kepada Allah SWT, dengan ucapan bismillahirrahmanirrahiim pada hari ini, sabtu tanggal 5 Juli 1575 Masehi Ba’da isya bertepatan dengan tanggal 4 Jumadil awal tahun 945 Hijriyah, saya atas nama Kerajaan Cirebon, Panembahan Ratu, meresmikan pedukuhan ini dengan nama “PEDUKUHAN BODE”  dan melantik Pangeran Wirasaba sebagai Kuwu Bode pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar