Pengikut

Selasa, 27 Januari 2015

SEJARAH CIREBON

A.     Kerajaan Cirebon Kuno
kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan. Di antara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban NagariBabad CirebonSajarah Kasultanan CirebonBabad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa asal mula kata ‘Cirebon’ adalah ‘sarumban’, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi ‘Caruban’. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi ‘Carbon’, berubah menjadi kata ‘Cerbon’, dan akhirnya menjadi kata ‘Cirebon’. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai ‘Puser Bumi’, negeri yang dianggap terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya ‘Negeri Gede’. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi ‘Garage’ dan berproses lagi menjadi ‘Grage’.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-17 menyebutkan bahwa kota Cirebon berasal dari kata cai dan rebon (udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata Cirebon adalah perkembangan kata caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat percampuran penduduk.
Peradaban dan kebudayaan Cirebon sesungguhnya sudah berusia 1612 tahun karena di Cirebon pernah berdiri suatu kerajaan yang tumbuh berbarengan dengan munculnya Tarumanagara, yaitu Kerajaaan Indraprahasta. Setelah itu bermunculan kerajaan-kerajaan lain seperti Kerajaan Carbon Girang, Keraton Singapura, dan Keraton Japura.
1.     Kerajaan Indraprahasta
Kerajaan Indraprahasta terletak di Cirebon Girang atau Cirebon Selatan, Kabupaten Cirebon sekarang. Kerajaan tersebut didirikan pada tahun 285 Masehi oleh Maharesi Santanu sebagai negara bawahan Salakanagara, yang berkuasa di Salakanagara saat itu adalah Prabu Darmawirya Dewawarman VIII.
Kerajaan Indraprahasta didirikan oleh seorang resi dan banyak pula raja-raja penerusnya merangkap sebagai resi atau guru. Begitu pula Kerajaan Cirebon Islam, didirikan oleh ulama agung sekaligus negarawan besar begitu pun para penggantinya. Jelasnya, Cirebon sejak dahulu kalanya terbentuk oleh iklim religius yang kental dan militan karena prajurit-prajuritnya yang gagah berani dan mahir berperang sering diminta untuk membantu raja-raja lain. Orang Cirebon dikenal sebagai satu suku bangsa yang cepat tersinggung dan introvert. Dikenal juga mempunyai kecenderungan ke arah mistik dan asetik. Pada masa itu kekuasaan Islam dari segi geografis telah menjadi super state dan dari keunggulan militer telah menjadi super power. Lembaga pendidikan telah maju, jauh meninggalkan Eropa dibawah peradaban Romawi dan Yunani. Kerajaan Indraprahasta berakhir pada saat pemerintahan Pabu Wiratara yang dikalahkan Raja Sanjaya Harisdharma dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Sang Maharesi masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Sang Dewawarman VIII. Karena itu, Sang Maharesi santanu diizinkan mendirikan desa di wilayah kerajaanya. Sang Maharesi Santanu membangun sebuah desa di tepi kali Cirebon, yang diberi nama Indraprahasta. Gunung Ciremai yang berdiri di dekat daerahnya, diberi nama Indrakila dan kali Cirebon yang melewati daerahnya diberi nama Gangganadi. Di bagian alur sungai diperlebar dan diperdalam sehingga mirip danau, dinamakan penduduk setempat sebagai Setu Gangga (Danau Gangga). Di tempat itulah diadakan upacara mandi suci, seperti kebiasaan di daerah asal Sang Maharesi Santanu lembah Sungai Gangga India. Reduplikasi semacam itu merupakan suatu pengabdian untuk mengenang tanah kelahiranya. Tidak mengherankan jika orang Cirebon beranggapan bahwa Pandawa itu sebenarnya berkerajaan di Cirebon. Kerajaan Indraprahasta kemudian berkembang menjadi kerajaan besar. Gelar Abhiseka Maharesi Santanu adalah Praburesi Santanu Indraswasra Sakala Kretabuana, permaisurinya bernama Dewi Indari putri Ratu Rani Spatikarnawarmandewi dan Prabu Darmawirya. Kerajaan Indraprahasta diperkirakan berdiri tahun 285 – 747 Masehi atau 398 – 645 saka, lokasi keratonnya terletak di Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang). Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon, Cirebon Girang di Kecamatan Talun. Resi Santanu berasal dari lembah Sungai Gangga, datang ke pulau Jawa sebagai pelarian setelah kalah perang melawan Dinasti Samudra Gupta dari kerajaan Magada.
Maharesi Santanu adalah menantu dari Dewawarman VIII Raja Salakanagara karena menikahi salah satu putrinya yaitu Dewi Indari sehingga kedudukan Indraprahasta pada saat itu menjadi bawahan dari Salakanagara. Salakanagara yang berlokasi di sekitar Pandeglang ini dinisbahkan sebagai ‘Argyre’ atau kota perak yang terdapat dalam catatan Claudius Ptolomeus, ahli geografi dari Alexandria.
Resi Santanu menikahi Dewi Indari putri bungsu Rani Spati Karnawa Warmandewi, Raja Salakanagara yang ibukota kerajaannya di Rajatapura, Pandeglang sekarang. Wilayah kerajaan Indraprahasta diperkirakan sebelah Barat Cipunegara, sebelah Timur Sungai Cipamali, sebelah Utara Laut Jawa, sebelah Selatan tidak ada catatan yang jelas. Raja-raja yang pernah berkuasa adalah sebagai berikut.
Raja Indraprahasta yang pertama adalah Prabu Maharesi Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana. Maharesi Santanu memerintah di Indraprahasta sebagai raja yang pertama dari tahun 285 – 320 saka atau 398 – 432 M dengan gelar Prabursi Indraswara Salakakretabuwana.
Tampuk kepemimpinan Prabu Maharesi Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana kemudian dilanjutkan oleh Prabu Resi Jayasatyanegara. Jayasatyanagara memerintah dari tahun 320 – 343 saka atau 432 – 454 M. Pada tahun 399 M, Jayasatyanagara harus mengakui kekuasaan Sri Maharaja Purnawarman dari Tarumanagara, nama kerajaan baru dari Salakanagara menjadi Tarumanagara yang diganti oleh Praburesi Jayasingawarman yang menikahi putri sulung Ratu Rani Spati Karnawarmandewi yang bernama Dewi Minati. Sejak ditaklukan oleh Sri Purnawarman, Indraprahasta menjadi negara bawahan Tarumanagara. Dengan demikian, Indraprahasta menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara. Permaisurinya Permaisuri Jayasatyanagara bernama Ratna Manik puteri Sang Wisnubumi, raja Malabar, di kaki Gunung Malabar Bandung Selatan sekarang. Dari permaisurinya, Jayasatyanagara memperoleh putera bernama Wiryabanyu, sebagai penguasa Indraprahasta ketiga. Sang Wiryabanyu adalah tokoh yang menumpas pemberontakan Sang Cakrawarman di zaman pemerintahan Sri Majaraja Wisnuwarman yang terjadi di Tarumanegara.
Resi Wiryabanyu. Wiryabanyu memerintah dari tahun 343 – 366 saka atau 454 – 476 M. Permaisuri Sang Wiryabanyu berasal dari kerajaan Manukrawa (mungkin ditepi sungai Cimanuk) bernama Nilem Sari, yang kemudian memperoleh seorang puteri bernama Suklawati dan dijadikan permaisuri oleh Sri Maharaja Wisnuwarman, Raja Tarumanegara keempat. Di masa pemerintahannya, Wiryabanyu membantu Wisnuwarman putra dari Purnawarman raja Tarumanagara menumpas pemberontakan Candrawarman sehingga atas keberhasilannya, putri Wiryabanyu yaitu Suklawati diperistri oleh Wisnuwarman dan prajurit-prajurit Indraprahasta dipakai sebagai pasukan bayangkara Tarumanagara. Prabu Resi Wiryabanyu merupakan mertua dari Prabu Wisnuwarman. Prabu Wama Dewaji memerintah dari tahun 366 – 393 saka atau 476 – 503 M. Ketika di Tarumanagara terjadi huru hara perebutan kekuasaan antara Wisnuwarman pewaris tahta dan Cakrawarman adik Sri Purnawarman, Prabu Wiryabanyu turut serta menumpas pemberontakan Cakrawarman.
Prabu Raksa Hariwangsa. Raksa Hariwangsa merupakan raja Kerajaan Indraprahasta keempat yang memerintah mulai tahun 393 – 429 saka atau 503 – 538 M dengan gelar Abhiseka Prabu Raksahariwangsa Jayabhuwana. Yang menjadi permaisurinya putri dari raja Sanggarung dan memiliki putri yang bernama Dewi Rasmi. Dewi Rasmi bersuamikan Tirtamanggala putra kedua dari raja Agrabinta.
Dewi Rasmi bersama suaminya yang bergelar Prabu Tirtamanggala Darmagiriswaradinobatkan menjadi Raja Indraprahasta menggantikan Prabu Raksa Hariwangsa. Ia memiliki dua orang putra, yakni Astadewa dan Jayagranagara. Setelah Dewi rasmi, Indraprahasta dipimpin oleh Prabu Astadewa sebagai raja keenam yang mewarisi tahta Indraprahasta sejak tahun 448 – 462 saka atau 556 – 570 M dan berputra Rajaresi Padmayasa. Meskipun Astadewa memiliki putra yang bernama Rajaresi Padmayasa, namun kepemimpinan Inraprahasta diserahkan kepada Prabu Senapati Jayanagranagara. Jayagranagara yang merupakan adik Astadewa sebagai raja Indraprahasta ketujuh yang berkuasa dari tahun 462 – 468 saka atau 570 – 575 M.
Rajaresi Padmayasa merupakan putra dari Astadewa menjadi Raja Indraprahasta yang kedelapan. Masa pemerintahannya sebagai raja Indraprahasta berlangsung cukup lama, sejak tahun 468-512 saka atau 575-618 M dan berputrakan Andabuwana. Prabu Andabuwana. Andabuwana sebagai Raja Indraprahasta kesembilan juga berkuasa cukup lama, menggantikan posisi ayahnya menjadi raja Indraprahasta sejak tahun 512 – 558 saka atau 618 – 663 M.
Prabu Wisnu Murti. Wisnumurti mewarisi tahta kerajaan Indraprahasta dan memerintah mulai tahun 558 – 583 saka atau 663 – 688 M. Putri Wisnumurti yang bernama Dewi Ganggasari diperistri oleh Linggawarman, Raja Tarumanagara XII. Raja Indraprahasta selanjutnya adalah Prabu Tunggul Nagara. Tunggulnagara diangkat sebagai penerus Wisnumurti untuk menduduki jabatan raja Indraprahasta keduabelas sejak tahun 583 – 629 saka atau 688 – 732 M. pada masa itu ekspedisi-ekspedisi damai Islam sudah sampai di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan sampai ke China. TW. Arnold mengidentifikasikan Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M.
Prabu Resi Padma Hariwangsa. Sang Padmahariwangasa yang menjadi pendukung utama perebutan kekuasaan di Galuh yang dilakukan oleh Sang Purbasora adalah raja ke-13 Indraprahasta. Resi guru Padma Hariwangsa menjadi raja Indraprahasta menggantikan kedudukan Tunggul Nagara mulai tahun 629 – 641 saka atau 732 – 744 M. Anak-anak Padma Hariwangsa yaitu, Citrakirana yang diperistri oleh Purbasora (Sang Purbasora hanya mengulang kisah Sri Maharaja Wisnuwarman, membentuk pasukan bayangkara dari prajurit-prajurit Indraprahasta. Pasukan tersebut berada langsung dibawah komando Patih Senapati Bimaraksa.
Sang Purbasora mengadakan kesiagaan dan kewaspadaan, ia memperhitungkan kemungkinan Sang Sena yang lolos ke Jawa tengah, akan mengadakan serangan balasan, dengan mempergunakan kekuatan pasukan Bumi Mataram dan Bumi sambara. Sang Purbasora menyadari dengan merebut tahta Galuh dari Sang Sena berarti hubungan Galuh-Kalingga yang pernah dibina oleh kakeknya (Sang Wretikandayun) menjadi terputus, bahkan menjadi permusuhan. Sebenarnya yang membakar Sang Purbasora untuk merebut Tahta Galuh adalah permaisurinya Citrakirana. Permaisuri ini pula yang membujuk ayahnya, Rajaresi padmahariwangsa untuk membantu upaya suaminya menjadi penguasa galuh.
Sang Purbasora, seharusnya menjadi penguasa Indraprahasta bersama-sama isterinya yang menjadi puteri mahkota. Akan tetapi raja Indraprahasta yang sudah tua itu melihat kepentingan lain. Bila menantunya (sang Purbasora) menjadi penguasa Galuh, puteranya Sang Wiratara mempunyai peluang menjadi penguasa Indraprahasta yang ke-14. Peluang tersebut memang terjadi, Sang Wirata dinobatkan menjadi pengganti ayahnya pada tahun 719 M. Sang Sanjaya mengetahui bahwa tulang punggung yang dijadikan andalan keberhasilan gerakan Sang Purbasora ialah pasukan Kerajaan Indraprahasta. Sang Sanjaya menganggap bahwa Indraprahasta merupakan sumber petaka yang menimpa ayahnya.
Sang Sanjaya sangat menghormati ayahnya lebih-lebih setelah ia mengethui bahwa para pemuka agama seperti Rabuyut Sawai pun sangat menghormatinya. Dengan dendam membara Sang Sanjaya menggerakan pasukannya ke Indraprahasta yang terletak dilereng Gunung Ciremai Cirebon. Keamanan di Galuh untuk sementara dipercayakan kepada Patih Anggada bersama sebagian pasukan sunda yang dipimpinnya. Sang Wirata raja Indraprahasta ketika itu ikut menggempur Galuh, berperan sebagai salah seorang senopati Sang Purbasora. Ia harus menerima pembalasan dendam putera Prabu Sena. Seluruh kerajaan Indraprahasta ditundukan, termasuk keratonnya hancur lantak, seakan-akan tidak pernah ada kerajaan didaerah Cirebon Girang. Angkatan Perang, pembesar kerajaan, seluruh golongan penduduk, penghuni istana, kaum terkemuka, hamper seluruhnya binasa tanpa sisa. Hanya beberapa orang yang berhasil melarikan diri, bersembunyi dihutan, digunung, dan disungai, luput dari musuh yang tidak mengenal belas kasihan. Pada masanya Kekhalifahan Bani Umayah terus menerus mengirimkan ekspedisi-ekspedisi dagang dan dakwah ke negeri-negeri timur, yakni China dan sekitarnya termasuk ke Indonesia khususnya Sumatera dan Jawa waktu itu juga sudah terkenal. Putri Prabu Padma Hariwangsa yang bernama Citra Kirana dinikahi oleh Purbasora putra Maharesi Sempakwaja dari kerajaan Galungung.
Prabu Wiratara. Wiratara yang meneruskan tahta Indraprahasta sebagai raja yang keempat belasdan Ganggakirana yang suaminya menjadi Adipati Kusala dari kerajaan Wanagiri bawahan Indraprahasta. Wiratara yang bergelar Prabu Wiratara dan memerintah dari tahun 641 – 645 saka atau 744 – 747 M. Prabu Wirataralah yang membantu dan mensponsori Purbasora untuk merebut kekuasaan Galuh dari Prabu Sena. Sehingga pada tahun 645 saka atau 747 masehi, Sanjaya pendiri kerajaan Mataram Kuno putra dari Prabu Sena yang beribukan Sannaha menuntut balas atas kematian ayahnya. Setelah Galuh diobrak-abrik dan ditaklukan, Sanjaya memutuskan untuk menumpas juga para pendukung Purbasora terutama Indraprahasta. Pada tahun ini Indraprahasta diserbu oleh Sanjaya sehingga Indraprahasta yang didirikan sejak jaman Tarumanagara akhirnya diratakan dengan tanah seolah tidak pernah ada kerajaan di situ. Prabu Wirata Raja Indraprahasta ke-14, gugur dalam pertempuran dan seluruh anggota keluarganya binasa. Kerajaan warisan sang Maharesi Sentanu yang didirikan tahun 363 Masehi itu lenyap dari muka bumi (Indraprahasta sirna ing bhumi). Kedudukannya sebagai Darmasima (Negara mereka yang dilindungi sebagai Negara leluhur) telah berakhir. Bekas kawasan Indraprahasta oleh sang Sanjaya diserahkan kepada Adipati Kusala Raja wanagiri, menantu Sang Padmahariwangsa suami Ganggakirana. Kerajaan Wanagiri pengganti kerajaan Indraprahasta di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Pada abad ke-15 Masehi kerajaan Wanagiri menjadi Kerajaan Cirebon Girang.
2.     Keraton Carbon Girang
Pasca penghancuran Indraprahasta dan terbunuhnya Purbasora dan Wirata, kemudian Sanjaya mengangkat Kusala sebagai penguasa Indraprahasta dan Wanagiri dan berkedudukan di Wanagiri, ketika itu sudah menjadi bawahan Galuh. Keraton Carbon Girang cikal bakalnya berasal dari keraton Wanagiri didirikan oleh Ki Ghedeng Kasmaya, setelah runtuhnya Indraprahasta. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Ghedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Ghedeng Carbon Girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana. Keraton Carbon Girang antara lain diperintah oleh: Ratu Dewata yang juga disebut Ki Ghedeng Kasmaya dan Ki Ghedeng Carbon Girang.
Tentang Cirebon Girang pada periode berikunya disebut-sebut memiliki kaitan dengan keturunan dari Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang bertahta di Kerajaan Sunda-Galuh (1357 – 1371). Sang Bunisora ketika itu bertindak sebagai pengganti raja setelah kakaknya (Prabu Wangi) gugur di Palagan Bubat. Sang Bunisora dikenal pula sebagai Pandita Ratu yang memiliki sebutan tinggi keagamaan di jamannya, ia pun sangat toleran terhadap pemeluk agama lainnya, bahkan salah satu putranya, yakni Sang Bratalagawa, putera kedua Sang Bunisora yang usianya dua tahun lebih muda dari sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, disebut sebut sebagai Haji Galuh Pertama dan dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh.
Sang Bunisora dari permaisuri di antaranya ialah Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, yang menjadi penguasa Kerajaan Cirebon Girang. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Gedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Gedeng Carbon Girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana. Berakhirnya Keraton Carbon Girang diperkirakan tahun 1445.
Pasca Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, maka pada tahun 1447, wilayah Carbon Girang disatukan di bawah kekuasaan Kuwu Carbon II. Untuk kemudian pada tahun 1454 ia diangkat oleh Raja Pajajaran (Prabu Silihwangi) untuk menjadi Tumenggung di wilayah tersebut dengan gelar Sri Mangana.
3.     Keraton Caruban Larang
Caruban Larang merupakan lalu lintas perniagaan “ mancanegara” pada masanya. Awalnya sebuah desa nelayan kecil bernama Dukuh Pasambangan terletak sekitar lima Kilometer sebelah utara Kota Cirebon Sekarang, selanjutnya  desa ini berkembang menjadi kota Pelabuhan yang ramai bernama Caruban Larang. Berdasarkan tutur tradisi Cirebon diyakini bahwa Caruban Larang didirikan pada 1 Muharam tahun Alip 1302 Jawa atau 1389 Masehi. Titimangsa tersebut untuk sementara ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Cirebon.
Muara Jati (sekarang alas konda) adalah nama pelabuhannya, di sana yaitu di puncak Gunung Amparan Jati didirikan Mercusuar oleh Laksamana Cheng Ho untuk memandu kapal-kapal yang hendak berlabuh di Muara Jati, sehingga pelabuhan Muara Jati menjadi ramai disinggahi  kapal dan perahu dagang dari berbagai penjuru bumi antara lain Arab, Persi, India, Malaka, Tumasik (singapura), Paseh, Wangkang (Cina), Demak, Jawa Wetan, Madura, Palembang, maupun Bugis.
Kemenangan Raden Pamanah Rasa dalam sayembara adu jurit serta memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Syekh Quro, maka Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jayadewata berhak menikahi Nyai Mas Subang Larang atau Subang Karancang. Dapat dipastikan bahwa untuk selanjutnya Nyai Subang Larang diboyong ke Keraton Galuh Surawisesa, karena pada masa itu Pamanah Rasa belum menjadi Raja Pajajaran, bahkan Ningrat Kancana ayahnya belum lagi dilantik menjadi raja di Galuh. Dari perkawinannya mereka dikarumai tiga orang anak yaitu Raden Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M, Nyai Lara atau Rara Santang lahir pada tahun 1426 M, dan Raja Sengara lahir pada tahun 1428 M. Pada tahun 1441 M Nyai Subang Larang jatuh sakit hingga meninggal dunia. Semenjak kematian ibunya, ketiga kakak beradik mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari saudara-saudara lain ibu (Atja 1986:32). Hal tersebut membuat gerah Raden Walangsungsang, hingga setahun kemudian (1442 M) ia keluar dari keraton melintasi hutan belantara.
Dalam tradisi masyarakat Cirebon, antara lain tercatat dalam Babad Klayan (Hadisutjipto 1989; Arismunandar dan Pudjiastuti 1996:224), digambarkan perjalanan yang dilaluinya begitu berat, tak berapa lama ia sampai di Gunung Merapi. Di situ berdiam seorang pandita penganut aliran Budhaprawa (Syiwa Buddha) yang sangat luhung bernama Sang Hyang Danuwarsih. Sang Hyang Danuwarsih adalah putra dari Sang Danusetra, pendeta agung di Pegunungan Dieng. Setelah berdiam cukup lama, Walangsungsang diberi berbagai benda pusaka (Rais 1986:18-19), serta dinikahkan dengan putri Sang Pendeta yang bernama Nyai Indang Geulis atau Nyai Indang Ayu yang diam-diam telah lama menaruh hati pada putra Prabhu Siliwangi tersebut (Rais 1986:15; Atja 1986:32).
Benda-benda pusaka yang dianugerahkan Sang Hyang Danuwarsih kepada Walangsungsang adalah sebuah cincin yang bernama Ali-ali Ampal. Cincin ini berkhasiat dapat melihat barang gaib, dapat menyimpan berbagai macam benda, serta bisa mengabulkan apa saja yang dikehendaki. Baju Kemayan, baju ini memiliki kelebihan, barangsiapa yang memakainya tak terlihat oleh orang lain. Selain itu, baju ini menjauhkan si pemakai dari maksud-maksud jahat. Di atas baju tersebut terdapat gambar kembang daun tulisan Arab berbunyi, “Barang siapa takut kepada Allah, maka Allah akan membuka jalan keluar dari kesulitan-kesulitan dan akan memberikan rezeki kepadanya yang tidak diduga-duga dan dengan tidak berjerih payah lagi”. Baju Pengabaran, memiliki khasiat, jika dipakai akan menimbulkan keberanian yang tiada terkira dalam menghadapi musuh, terlepas kuat atau lemahnya lawan, bahkan bukan hanya bangsa manusia atau hewan, bangsa jin dan setan pun akan tunduk. Pada baju tersebut tertulis, “Berbaktilah kepada Tuhanmu hingga ajalmu datang”. Baju Pengasihan, baju ini berkhasiat, siapa pun yang memakainya akan dikasihi oleh orang banyak. Tertulis di baju tersebut, “Sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang takwa kepada-Nya”. (M Rais 1986:18-19).
Sementara itu, tanpa sepengetahuan orang tua, Nyai Rara Santang menyusul kakandanya. Setelah sekian lama ia berjalan tanpa memperdulikan keselamatan jiwa dan raganya, tibalah ia di Gunung Tangkuban Perahu. Di tempat itu ia bertemu dengan Nyai Indang Sukati. Kepada wanita tua itu, ia menceritakan maksud dan tujuan perjalanannya. Nyai Indang Sukati memberi petunjuk agar hal tersebut ditanyakan kepada Ki Ajar Sakti di Argaliwung. Sebelum Nyai Rara Santang melanjutkan perjalanan, Nyai Indang Sukati memberinya sebuah baju azimat bernama Baju Hawa Mulia. Baju Hawa Mulia ini memiliki kekuatan: pemakainya dapat melayang di atas tanah, berjalan di atas air, dan tak terbakar api (Rais 1986:16). Tiada berapa lama, ia bertemu dengan Ki Ajar Sakti yang memberikan petunjuk jika ingin menemukan Raden Walangsungsang hendaklah ia menuju arah timur-selatan, ia akan menemukan Sang Kakak di Gunung Merapi.
Tanpa terasa tibalah Nyai Rara Santang di tempat yang dituju, tempat kakaknya berada, kedatangannya diterima dengan baik oleh Raden Walangsungsang, Sang Hyang Danuwarsih memberi saran agar untuk sementara tinggal di situ. Selanjutnya Sang Hyang Danuwarsih menyarankan agar ke dua putra-putri Prabhu Siliwangi untuk meminta petunjuk kepada Sang Hyang Nago di Gunung Kumbang. Maka berangkatlah kedua kakak-beradik ke Gunung Ciangkup disertai istri Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis.
Setibanya mereka di Gunung Ciangkup, mereka bertemu dengan Sang Hyang Nago. Kepadanya Pangeran Walangsungsang menuturkan seluruh maksud dan tujuan. Sang Hyang Nago mendengar penjelasan tersebut, lalu menerangkan bahwa jika ingin mencari perihal agama Islam hendaknya bertanya kepada Sang Hyang Nago di Gunung Kumbang. Sebelum tiga orang tersebut pergi, Sang Hyang Nago memberikan berbagai ilmu, serta mewariskan sebuah senjata pusaka yang bernama Golok Cabang. Konon, golok cabang ini dapat terbang dan berbicara layaknya manusia (ngucap tata jalma). Ilmu yang diberikan Sang Hyang Nago kepada Walangsungsang terdiri dari: Ilmu Kadewan, yaitu kemampuan dapat memperteguh keyakinan seseorang dalam beragama. Ilmu Kapik’san, yaitu ilmu yang dapat menimbulkan wibawa yang besar, serta pemiliknya akan dikasihi segenap makhluk. Ilmu Keteguhan, yakni ilmu yang membuat pemiliknya kebal, kuat, dan perkasa. Ilmu Pengikutan, yaitu ilmu yang dapat mempengaruhi seluruh makhluk. Sedangkan senjata pusaka yang bernama Golok Cabang, memiliki kekuatan apabila ia ditebaskan ke arah singa, maka singa itu akan hancur lebur. Begitu juga gunung, laut, dan hutan atau apa pun yang terkena Golok Cabang akan binasa (Rais 1986:20).
Sesuai petunjuk Sang Hyang Nago, berangkatlah mereka bertiga ke Gunung Kumbang. Sesampainya mereka di sana, Raden Walangsungsang menyampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuan meraka bertiga kepada Sang Hyang Nago. Namun, seperti yang sudah-sudah, keinginan mereka untuk memperdalam agama Islam tak bisa terlaksana. Sang Hyang Nago hanya memberi pentunjuk agar mereka melanjutkan perjalanan ke Gunung Cangak dan menemui Ratu Bangau, ia pun tak lupa membekali Walangsungsang dengan berbagai ilmu dan benda pusaka. Ratu Bangau tinggal di satu pohon yang tingginya 500 m yang setiap dahan dan rantingnya dipenuhi oleh ribuan bangau. Terjadi sedikit perlawanan dari Ratu Bangau, namun oleh Walangsungsang akhirnya Ratu Bangau dapat ditaklukan (Rais 1986:11-20). Peristiwa perjumpaan Walangsungsang dengan Ratu Bangau diabadikan dalam lagu Cingcing Duwur, Kajongan, Pari Anom, Rambu Gede, Rambu Cilik, dan Bango Butak atau Rara Butak.
Lagu-lagu tersebut merupakan bagian dari tujuh lagu yang biasa dimainkan dengan Gamelan Sekaten dan diperdengarkan setiap bulan Maulud pada saat upacara panjang jimat. Menurut Raden Sangkaningrat (bagian seni gamelan Keraton Kanoman), ada enam lagu yang dimainkan menjelang upacara Panjang Jimat, dan merupakan lagu-lagu perjuangan yang menggambarkan perjuangan prajurit-prajurit Cirebon menghadapi Ratu Bangau yang belum mau masuk Islam dari Gunung Cangak atau Gunung Srandil. Lagu-lagu itu terdiri dari: Lagu Sekaten, lagu ini menempati urutan pertama dalam rangkaian lagu-lagu Sekatenan, karena Sekaten berasal dari kata ‘syahadatain’. Durasi lagu ini mencapai 1 jam. Jumlah pukulan gong besar harus tepat 100 kali, yang bermakna jumlah dzikir 100 kali. Lagu Cingcing Duwur, lagu ini mengingatkan pada para pendengarnya, bahwa peristiwa tersebut berlangsung di atas tanah yang becek, sehingga memaksa para prajurit mengangkat (nyingcing) kainnya tinggi-tinggi (duwur). Lagu Kajongan, Kajongan artinya melompat, diceritakan kondisi tanah yang becek serta banyak terdapat saluran air, mengakibatkan para prajurit berjalan melompat-lompat. Lagu Pari Anom. Pari Anom artinya padi muda, kala peristiwa itu terjadi sebagian sawah di sekitar tempat itu sudah mulai berbuah. Lagu Rambu Gede dan Rambu Cilik. Ke dua lagu ini mengisahkan waktu Ratu Bangau tertangkap, prajurit Cirebon mengerubutinya ramai-ramai. Sebagian dari mereka mencengkramnya, dengan cengkraman besar ataupun kecil. Lagu Bangau Butak atau Rara Butak. Lagu ini diilhami dari kejadian setelah kekalahan Ratu Bangau, ia tertangkap dengan rambut terjambak. Jambakan itu mungkin demikian kerasnya hingga ia merasa kesakitan (rara), bahkan akibat Jambakan itu kepala Ratu Bangau menjadi botak. Lagu ini mendapat tempat khusus dalam penyajiannya. Ia muncul lima kali dari seminggu, selama penyajian lagu-lagu Sekatenan. Adapun rincian waktunya sebagai berikut: Pertama, pukul 21.00 pada hari pertama. Kedua, pukul 24.00 hari pertama. Ketiga, pada tanggal 11 Maulud malam 12 Maulud, pukul 21.00 tepat di saat keluarnya rombongan panjang jimat dari pintu Si Blawong. Keempat, pukul 24.00 pada malam yang sama. Kelima, pada hari penutupan tanggal 12 Maulud sore hari pukul 16.00).
Setelah Ratu Bangau mengaku takluk, ia pun memberi petunjuk yang diharapkan Walangsungsang, bahwa apabila ia ingin mencari agama Islam, pergilah menuju ke Gunung Jati. Selain dari itu ia pun membekali dengan benda-benda pusaka (Rais 1986:21-22). Adapun pusaka-pusaka yang diberikan oleh Ratu Bangau adalah Panjang Zimat, Pendil Sewu, dan Bareng. Setelah sekitar tiga tahun belajar pada Syekh Datul Kafi di daerah Amparan Jati, Raden Walangsungsang bersama isteri dan adiknya, Nyai Lara Santang dianggap telah selesai mempelajari agama Islam. Oleh gurunya Raden Walangsungsang diberi nama Ki Somadullah. Mereka kemudian dianjurkan untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir (sekarang Lemahwungkuk) yang pada waktu itu disebut dengan Tegal Alang-alang. Pedukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang.
Sekitar lima tahun kemudian, datanglah Ki Somadullah atau Raden Walangsungsang dari puncak Amparan Jati bersama istri, dan adik perempuannya. Setibanya di Kebon Pesisir, ia kemudian diberi gelar Pangeran Cakrabuwana. Dikisahkan, bila malam dua pasangan suami istri, yakni Ki Gedeng Alang-alang beserta istri dan Ki Somadullah beserta istri, bekerja mencari rebon (udang kecil) dan ikan di sungai yang ada di sebelah timur rumahnya dan di pinggir pantai. Rebon dan ikan itu dipakai sebagai bahan untuk membuat terasi dan petis. Konon, terasi dan petis yang dihasilkan Ki Somadullah dikenal enak, dan semakin hari pembeli yang datang ke Dukuh Lemah Wungkuk untuk membeli barang itu bertambah banyak. Para pendatang bukan hanya dari daerah sekitar seperti Desa Pesambangan dan Muarajati, tetapi juga dari wilayah Sunda, bahkan dari negeri Arab dan Cina. Lama kelamaan mereka tidak sekedar membeli terasi dan petis, tetapi menetap di daerah ini; dan bahkan para pendatang ini ikut membuat terasi dan petis. Pada akhirnya, Dukuh Lemah Wungkuk sejak tanggal 14 paro-peteng bulan cetra 1367 Saka (1445/1446 M), disebut Dukuh Carbon, yang berasal dari kata ‘cai’ dan ‘rebon’.
Dari cerita yang beredar di masyarakat, disebutkan Ki Gedeng Alang-alang terpilih menjadi Kuwu Caruban yang pertama, sedangkan Ki Somadullah menjadi Pangraksabumi (wakil kuwu) dengan gelar Ki Cakrabumi. Pada tahun 1450 M Ki Somadullah mengerahkan orang-orang untuk bersama-sama mendirikan tajug (musholla) di daerah Jelagrahan dan membuat gubuk di sekitarnya. Pendirian tajug dan dibukanya perkampungan (sekarang menjadi Keraton Kanoman) tersebut merupakan salah satu tanda perkembangan Islam di Cirebon. Perkampungan ini pada saatnya menjadi cikal-bakal bagi kota Cirebon.
Sejak saat itu Pangeran Walangsungsang giat menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon, sedangkan untuk daerah di luar Cirebon masih belum terjamah. Hal itu, disebabkan pada waktu itu Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, yang hampir sebagian masyarakatnya masih beragama Hindu dan Budha. la mendiami rumah dekat tajug Jelagrahan sambil mengajar agama Islam kepada penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk Cirebon serta semakin banyaknya kaum muslimin dari luar Ckebon yang ingin memperdalam agama Islam, kondisi Jalagrahan tidak dapat lagi menampung umat Islam dalam menjalankan berbagai kegiatan keagamaan di Cirebon, ttiaka perlu didirikan masjid baru dengan ukuran yang lebih besar. Untuk itulah dibangunlah masjid baru yang dinamakan Masjid Agung Ciptarasa. Masjid ini merupakan masjid resmi Kesultanan Cirebon. Menurut keterangan, masjid ini didirikan oleh Wali Sanga dan pembangunannya dipimpin oleh ahli bangunan dari Majapahit yang bernama Raden Sepat. Salah satu tiang masjid ini disebut “Saka Tatal” karena terbuat dari susunan ‘tatal’ (potongan-potongan kayu).
Ketika Ki Gedeng Alang-alang meninggal, atas persetujuan rakyat setempat, Ki Somadullah diangkat menjadi Kuwu Dukuh Lemah Wungkuk menggantikan mertuanya dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Beliau menjalankan industri rumah tangga yaitu membuat terasi dan petis. Pada saat Ki Somadullah menjabat sebagai Kuwu Caruban II keadaan daerah ini semakin ramai. Selanjutnya oleh Pangeran Cakrabuana, Caruban ditingkatkan menjadi sebuah negeri dengan sebutan Caruban Larang. la juga membentuk laskar yang mengawal keamanan wilayah dengan segala kelengkapannya. Setelah mengambil harta peninggalan Ki Gedeng Tapa dari Kerajaan Singapura (± 4 km, sebelah utara makam Sunan Gunung Jati), Pangeran Cakrabuana mendirikan bangunan baru berupa istana yang diberi nama Keraton Pakungwati pada tahun 1452 M. Dengan dibangunnya Keraton Pakungwati ini, menandakan bahwa Cirebon sudah mulai berfungsi sebagai pusat pemerintahan lokal.
Menjelang timbulnya kekuasaan politik Islam Cirebon, kedudukan Ckebon masih berada di bawah Tohaan di Galuh (1475-1482). Baru setelah itu, Cirebon dipegang oleh Sunan Gunung Jati dan dapat melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Galuh Sunda Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu rajanya adalah Sang Ratu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal dengan sebutan Prabhu Siliwangi (1482-1521). Mulai saat itu, Ckebon merupakan sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat dan tidak lagi di bawah kekuasaan manapun. Pada saat ini, Ckebon sudah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda.
Eksistensi Cirebon yang semakin kuat dengan berkembangnya agama Islam pada akhirnya berbenturan dengan kedaulatan Kerajaan Galuh. Satu demi satu daerah kekuasaan Galuh seperti Palimanan, Cangkuang, Luragung (Kuningan), Rajagaluh dan Talaga (Majalengka), dan Cimanuk (Indramayu) ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Cirebon.

4.    Keraton Singapura
Singapura merupakan sebuah pemerintahan bawahan Galuh yang sejajar dengan Keraton Carbon Girang. Nagari ini terletak kira-kira 4 km di sebelah utara Giri Amparan Jati. Luas wilayah secara pasti tidak jelas, tetapi indikasi batas-batasnya dapat ditemukan. Di sebelah utara berbatasan dengan Nagari Surantaka, di sebelah barat berbatasan dengan Nagari Wanagiri, di sebelah selatan dan timur dengan Nagari Japura, dan di sebelah timurnya, Laut Jawa (Teluk Cirebon). Pusat pemerintahannya berada di Desa Mertasinga Kecamatan Cirebon Utara Kabupaten Cirebon. Sisa-sisa istananya yang masih ada hingga sekarang adalah gerbang istana, yang oleh masyarakat setempat disebut Lawang Gede.
Nagari Singapura dipimpin oleh Ki Gedheng Surawijaya Sakti, adik dari Prabhu Dewa Niskala. la memiliki seorang istri bernama Nyai Indang Sakati, putri dari Giri Dewata atau Ki Gedheng Kasmaya penguasa Nagari Wanagiri. Sayang dalam perkawinan itu mereka tidak dikaruniai keturunan.
Selanjutnya kepemimpinan dilanjutkan oleh adiknya, Ki Gedheng Tapa yang telah lama membantunya menjadi Mangkubhumi, juga menjadi Juru Labuhan Pelabuhan Muara Jati kedua sepeninggal Juru Labuhan pertama, Ki Gedheng Sedhang Kasih. Secara persis, pelimpahan kekuasaan atau tahun wafatnya Ki Gedheng Surawijaya Sakti tidak diketahui. Di bawah kepemimpinan Ki Gedheng Tapa atau Ki Jumajan Jati, Pelabuhan Muara Jati maju pesat dan menjadi pelabuhan yang sangat diperhitungkan. Ternyata dipicu oleh denyut nadi pelabuhan itu, muncullah sebuah pedukuhan yang dipenuhi oleh kegiatan perdagangan yang bernama Pasambangan. Yang kemudian hari menjadi salah satu pusat kegiatan penyebaran Islam di Jawa yang biasa disebut Puser Bumi. Seperti yang tercatat dalam Purwaka Caruban Nagari  (1720:13).
Kala samana sinuku eng Giri Sembung lawan Ngamparan Jati huwus mangadeg lawas Pasambangan dukuh wastanya// Paratidina janmapadha ikang dol-tinuku samya atekeng engke/i sedheng parirenan kang prahwa Muhara Jati dumadi akrak/ mapan ri nanawidha kang palwa nityasa mandeg engkene// Pantara ning yata saking Cina negari Ngarab/ Persi/ Indiya/ Tumasik/ Paseh/ Jawa Wetan Mandura lawan Palembang/ matang ika Pasambangan dukuh dumadyakna akrak mwang janmapadha// Kahanannya subika/
Pada masa itu di kaki gunung Amparan Jati telah berdiri sejak lama dukuh yang namanya Pasambangan. Tiap-tiap hari warga masyarakat datang di situ untuk berjual beli, sedangkan persinggahan perahu Muhara Jati menjadi ramai, karena bermacam-macam perahu berhenti disitu. Di antara perahu-perahu itu dari negeri Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik (Singapura), Pasai, Jawa Timur, Madura, dan Palembang. Karena itu dukuh Pasambangan menjadi ramai dan warga masyarakat kehidupannya sejahtera…
Keberadaan Muara Jati sebagai sebuah pelabuhan tercatat pula dalam “Suma Oriental” karya Tome Pires (1513 diterjemahkan oleh Armando Cortesao pada tahun 1944). Pires menyebutkan, Pelabuhan Cerimon/Cheroboan merupakan pelabuhan yang baik. Di situ setiap waktu ada empat atau lima jung (perahu) berlabuh, terbanyak dari jenis lanchara (sejenis perahu yang jalannya sangat cepat). Jung dapat berlayar hingga 15 km ke hulu sungai. Pelabuhan itu berpenghuni lebih dari 1.000 orang, beras, dan berbagai jenis bahan makanan merupakan komoditas yang diperdagangkan. Selain dari itu diperdagangkan pula kayu, yang kualitasnya terbaik di seluruh Pulau Jawa.
Selanjutnya Purwaka Caruban Nagari menceritakan kedatangan armada Angkatan Laut Cina pada tahun 1415 M yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho atau Zheng He atau Te Ho yang beragama Islam. Armada itu berkekuatan 63 perahu dengan jumlah pasukan 27.800 orang. Namun dalam Nagara Kretabhumi 1.2 (1692:14) jumlah pasukan dan jumlah perahu dalam muhibah itu agak berbeda. Nagara Kretabhumi 1.2 menyebutkan jumlah pasukan 2.700 orang dengan menggunakan perahu ±100 buah. Sedangkan Sunardjo (1996:19) mengungkapkan, Laksamana Cheng Ho yang merupakan keturunan Mongol melakukan tujuh kali pelayaran dari tahun 1405 M-1425 M dengan armada sebanyak 200 jung atau perahu besar dengan masing-masing berbobot mati ±80-100 ton. Mereka melaksanakan tugas muhibah keliling itu atas perintah Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo, raja dinasti Ming III. Tugas utama misi ini adalah membina persahabatan yang erat dengan kerajaan-kerajaan di seberang lautan (Sudjana 1996:181).
Dalam masa tujuh kali pelayarannya, ia berhasil memindahkan 25.000 orang Cina dari Provinsi Yunan dan Swatow di Cina selatan ke Palembang, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Di Jawa, imigran dari Cina ditempatkan di Banten, Cirebon, Semarang, Juwana, Jepara, Gresik, Ampel (Surabaya), dan Bangil.
Rahardjo (2004), menceritakan cerita rakyat yang mengisahkan, bahwa karena banyaknya perahu armada Cina dan bentuknya lebih besar dari perahu yang biasanya berlabuh di Muara Jati, maka sebagian perahu ditambatkan di sebuah sungai. Peristiwa tersebut diabadikan menjadi nama perkampungan yang tak jauh dari sungai tersebut, perkampungan itu diberi nama Celangcang, berasal dari kata ‘nyangcang’ yang artinya menambat. Sungai tempat menambat itu pun diberi nama Bengawan Celangcang. Sekarang sungai itu menjadi sempit, lebarnya kira-kira hanya 4-5 meter saja. Peristiwa itu menurut Nagara Kretabhumi  terjadi pada tanggal 14 “paro peteng” Palguna Masa tahun 1337 S/ 1415 M. Armada itu dipimpin Laksamana Cheng Ho, Ma Hwan selaku sekretaris merangkap pencatat, Kung Way Ping selaku Panglima Angkatan bersenjata, Wang Kheng Wong sebagai kapten kapal, dan Pey Shin sebagai pencatat.
Sudjana selanjutnya menyebutkan, dalam perjalanannya menuju Canggu (Majapahit), mereka singgah di Pura Karawang, dalam fombongan itu terdapat pula seorang ulama yang bernama Syekh Hasanudin dari Campa (Vietnam Selatan) yang bermaksud menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Lalu sang ulama turun di Kerawang, sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Majapahit, dan singgah selama satu minggu. Dalam persinggahannya yang hanya berlangsung satu minggu, armada Cina itu ternyata sempat pula mendirikan mercusuar di atas Bukit Amparan Jati. Seperti yang dikisahkan Purwaka Caruban Nagari (1720:14-15):
Cinarita hana ta prasadha tunggang prawata Ngamparan Jati/ yawat ta ratrikala ring kadhohan murub katinghalan kadi linthang kang tejamaya// Kunang iking prasadha palinggannya/ pasisk Muhara Jati ikang mangadegna yata baladika Cina Wa Heng Ping ngaranira lawan Sang Laksamana Te Ho sabalanya kang sahanira tan ketung/ irika ta ring// Pasambangan ing lampakhira umareng Majapahit mandeg sawatara ing Muara Jati/ ri huwuska tamolah ing Pasambangan desa/ magawe karya ring Sang Juru Labuhan tan masowe panatara ning akara// Pitung rahina kulem/ ri huwus ika prasadha tinuku dheng sira Ki Juru Labuhan yeka kang dumadi Mangkubumi makanama Jumajan Jati/ tinukar lawan uyah/ trasi/ beras tuton/ grabadan// Lawan kayu jati/ umangkat ring Jawa Wetan tumuli/ sampunya kabeh pepek sjro ning prahwanka/…
Diceritakan ada mercusuar di atas Gunung Amparan Jati. Pada malam hari tampak berbinar-binar dari kejauhan, bagaikan bintang cahayanya berkilauan. Adapun mercusuar itu seakan-akan tanda bagi pantai Muara Jati. Yang mendirikan itu Angkatan Bersenjata Cina yang tidak terhitung banyaknya di bawah Panglima Besar Wa Heng Ping namanya dan Laksamana Te Ho. Mereka berhenti di Pasambangan dalam perjalanan menuju Majapahit, berlabuh untuk sementara di Muara Jati. Tidak berapa lama, kira-kira tujuh hari tujuh malam. Setelah mercusuar itu selesai dibangun, dibayar oleh Juru Labuhan, yang menjadi Mangkubumi, bernama Jumajan Jati. Ditukar dengan garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati. Kemudian mereka berangkat menuju Jawa Timur, setelah semua perahu sarat muatan di dalamnya…
Menurut Kartani (2004), mercusuar itu materialnya adalah bambu, bahan itu dipilih karena memperhitungkan karakteristik tanah di sekitar Jawa Barat pada masa itu yang rawan longsor. Saat ini mercusuar itu tinggal pondasinya, itu pun sangat sulit untuk dikenali. Jika kita melihat apa yang tercatat dalam Nagara Kretabhumi dan Purwaka Caruban Nagari, maka keberadaaan mercusuar karya bangsa Cina itu, ternyata bukan saja sebagai tengara (pertanda) bagi kapal dan perahu, tetapi mercusuar itu juga merupakan tengara, bahwa akan datang sebuah perubahan zaman, yakni masuknya agama Islam. Hal ini terbukti dengan setelah kedatangan armada Cheng Ho banyak berdatangan pendatang beragama Islam. Datanglah ulama yang bernama Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik yang berkeinginan untuk menyebarkan Islam di tatar Sunda. Berkat usaha Ki Gedheng Tapa yang gigih, ia dapat membujuk ayahnya, Prabhu Niskala Wastu Kancana agar diberi izin membuka pesantren di Karawang. Bahkan putrinya, Subang Larang atau Nyai Mas Larang Tapa85 -yang lahir pada tahun 1404 hasil perkawinannya dengan Nyai Ratna Kranjang (putri dari Ki Ageng Kasmaya atau Giri Dewata pemimpin Nagari Wanagiri) menjadi murid Syekh Hasanudin. Di pesantren tersebut kemudian Syekh Hasanudin lebih terkenal dengan nama Syekh Quro. Letak bekas pesantrennya berada di Desa Talagasari Kecamatan Talagasari Kabupaten Karawang. Di Karawang ia mendapat seorang istri putri dari Ki Ageng Karawang yang bernama Ratna Sondari. Darinya ia memperoleh putra yang bernama Syekh Ahmad yang nantinya menjadi penghulu Karawang I.
Syekh Hasanudin berasal dari Campa (Vietnam Selatan), ia kemari ditemani oleh putranya Syekh Bantong atau Tan Go Hwat, yang kemudian tinggal di Gresik sebagai saudagar besar dan guru agama. Dari perkawinannya dengan Siu Te Yo ia memperoleh putri yang bernama Siu Ban Ci. Siu Ban Ci inilah yang kelak melahirkan anak bernama Jin Bun atau lebih terkenal dengan nama Raden Patah, Raja Demak pertama.
Jika melihat kegigihannya berusaha untuk mendapatkan izin serta mengizinkan putri semata wayangnya belajar ke Malaka ditemani oleh sepupunya Nyi Acih Putih, putri dari Nyai Rara Rudra dengan Tan Pwa Wang atau Ki Dampu Awang seorang saudagar kaya dari Cina (Nagara Kretabhumi, 1692:13), dan baru pulang pada tahun 1518, dan selanjutnya ia belajar di pesantren Syekh Quro, maka melihat hal itu, besar kemungkinan Ki Gedheng Tapa adalah seorang muslim. Hal tersebut tidaklah aneh, sebab jauh sebelum Ki Gedheng Tapa, sudah ada kerabat kerajaan Sunda Galuh yang menjadi muslim. Tercatat (Sudjana 1996:179-180) bahwa putra Sang Bunisora yang kedua (lahir 1350 M), Bratalegawa, yang senang berniaga sering bepergian jauh hingga ke luar negeri. la dikenal sebagai pedagang yang sukses memiliki banyak kapal dagang. Bukan hanya emas permata yang ia miliki, ia pun memliki beberapa rumah peristirahatan baik di lereng gunung maupun di tepi sungai.
Dalam perjalanan dagangnya, adakalanya ia berhubungan dengan pedagang dari Timur Tengah yang kebanyakan muslim. Mungkin karena melihat tindak-tanduk dan cara berniaga mereka yang baik, ia pun tertarik untuk mempelajari agama Islam, dan tak berapa lama kemudian ia pun menyatakan diri masuk Islam. la pun berjodoh dengan seorang wanita muslim dari Gujarat yang bernama Farhana bind Muhammad. Bersama-sama dengan isrinya, Bratalegawa menunaikan ibadah haji ke Mekah. la pun beroleh nama Haji Baharudin al-Jawi. Dari Mekah mereka ke Galuh. Kemudian di Galuh mereka menemui Ratu Banawati, adiknya, sambil mengajak saudarinya itu masuk Islam. Tetapi upayanya sia-sia. Mereka lalu tinggal di Caruban Girang dan mencoba mengajak kakaknya, Ki Gedheng Kasmaya atau Giri Dewata untuk memeluk Islam, namun lagi-lagi gagal.
Kegagalan tersebut tidak menyebabkan keretakan hubungan keluarga, semua saling menghormati kepercayaan dan agama masing-masing. Bahkan ia beserta istrinya diberikan izin menetap di Caruban Girang oleh Prabhu Niskala Wastu Kancana yang sekaligus kakak iparnya. Sebagai haji pertama di Galuh, maka ia lebih dikenal dengan Haji Purwa Galuh. Dari perkawinannya dengan Farhana, Haji Purwa beroleh putra bernama Akhmad yang kemudian dikenal dengan sebutan Maulana Safiudin.
Setelah anaknya beranjak dewasa, Haji Purwa bersama keluarganya pergi ke Gujarat. Di sana Akhmad dijodohkan dengan Rogayah binti Abdullah, putri dari sahabat Haji Purwa. Dari perkawinannya ini Akhmad mempunyai seorang putri bernama Hadijah, yang kelak setelah dewasa menikah dengan saudagar dari Hadramaut. Suami Hadijah sudah sangat tua dan meninggal sebelum mereka dikaruniai keturunan. Hadijah kemudian kembali ke Galuh bersama-sama ke dua orang tuanya, lalu mereka tinggal di Dukuh Pasambangan.
Pada tahun 1420 mendaratlah Syekh Datuk Kahfi alias Syekh Idopi alias Syekh Nurjati bersama pengiringnya berjumlah dua belas orang yang terdiri dari sepuluh orang laki-laki, dua orang perempuan. Kedua belas orang itu adalah utusan Persia (Sudjana 1987:27). Sebagaimana Syekh Quro, Syekh Datuk Kahfi pun mendapatkan izin menetap berkat usaha Ki Gedheng Tapa. Seterusnya ia menetap di Pasambangan, dan mendirikan pesantren Amparan Jati. Ada pula kemungkinan izin raja Galuh Sunda Prabhu Niskala Wastu Kancana ini turun, demi kelancaran perdagangan antara Galuh -dalam hal ini Singapura- dengan para pedagang dari Timur Tengah, atau juga membuktikan bahwa wilayah-wilayah pesisir Galuh adalah kawasan perdagangan bebas. Dari situ kemudian ia berjodoh dengan Hadijah, buyut (putri cucu) Haji Purwa yang telah lama menetap di Pasambangan. Dengan harta peninggalan suaminya terdahulu, Hadijah membantu pembangunan pesantren Amparan Jati agar lebih baik dalam berbagai hal. Sebelum menikah dengan Hadijah, ia sudah menikah dengan Sjarifah Halimah, kakak dari Syarif Abdullah (ayah dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati). Dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai empat orang anak yakni MauIana Abdurachman atau Syarif Abdurachman, Syarifah Baghdad, Maulana Abdurrachim atau Syarif Abdurrachim, dan Maulana Chafid atau Syekh Datul Chafid. Keempat anaknya tersebut diasuh oleh kakak dari Halimah, Sulaiman yang menjadi pembesar di Baghdad.
Setelah beberapa lama, selang keberangkatan Syekh Datuk Kahfi ke Jawa, keempat anaknya itu diusir dari Baghdad, oleh uwak (pak de) mereka, Sulaiman. Pengusiran itu disebabkan kegemaran mereka berjalan mengelilingi kota sembari menabuh rebana dan menggendong-gendong anjing.88 Mereka pun mengikuti jejak orang tuanya pergi menuju tanah Jawa atau tepatnya di Amparan Jati. Selanjutnya keempat kakak beradik itu menetap di sana bersama orang tua mereka. Kelak Syarif Abdurrachman lebih dikenal dengan nama Pangeran Panjunan, sedangkan Syarif Abdurrachim lebih dikenal dengan nama Pangeran Kejaksan.
Sebagaimana diketahui, Ki Gedheng Tapa memiliki seorang putri yang bernama Nyai Subang Larang yang kecantikannnya pada masa itu sangatlah terkenal. Mungkin karena banyaknya pelamar, diadakanlah sebuah sayembara untuk menentukan siapa yang akan menjadi suaminya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 1422 M, dan lokasinya di Nagari Surantaka.
Sayembara adu jurit ini tidak diketahui berapa jumlah pesertanya. Namun dalam partai puncak bertemulah dua orang satria pilih tanding, yaitu Pangeran Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa putra Ningrat Kancana, dengan Sang Prabhu Amuk Marugul atau Raden Panji Wirajaya Sang Amuk Marugul Sakti Mandraguna penguasa Japura, putra dari Sang Haliwungan atau Susuk Tunggal. Jadi mereka berdua adalah sama-sama cucu dari Raja Kerajaan Sunda Galuh Pakuan yang berkuasa pada masa itu, Sang Prabhu Niskala Wastu Kancana. Pada akhirnya pertarungan sengit itu dimenangkan oleh Pangeran Jayadewata. Sang Amuk Marugul betul-betul takluk padanya. Sebagai tanda atas kekalahan dirinya, ia pun mempersernbahkan adiknya Nyai Kentring Manik Mayang Sunda kepada Jayadewata. Selain pertandingan itu, Syekh Hasanudin selaku guru Subang Larang pun mengajukan syarat, boleh Subang Larang diperistri asal menjadi permaisuri dan nanti setelah menikah, Subang Larang tetap diizinkan melaksanakan syariat ajaran agama Islam yang dianutnya.
Kisah pernikahan Prabhu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang yang hidup di masyarakat Cirebon dalam bentuk dongeng kental dengan napas Islam. Dalam dongeng itu Prabhu Siliwangi dan peserta lainnya mengikuti sayembara untuk mencari lintang Kerti jejer satus (bintang Kerti berderet seratus). Kisah itu juga menyebutkan bahwa Prabhu Siliwangi pergi ke Mekah. la pun berhasil menemukan apa yang dimaksud dengan kalung lintang Kerti jejer satus, berkat bantuan seseorang bernama Ki Guru, bahkan Ki Guru tersebut berhasil mengislamkan Prabhu Siliwangi (Rais 1986:7-10).
Dalam masa kepemimpinannya, Ki Gedheng Tapa selaku penerus Ki Gedheng Surawijaya Sakti dan sekaligus penerus Ki Gedheng Sedhang Kasih, berhasil dengan baik membangun sebuah daerah pesisir yang baik dan terbuka sesuai dengan citra manusia pesisir yang terbuka dan integratif. Di tangannya Singapura dan Pelabuhan Muara Jati menjadi sebuah kekuatan yang tidak pernah diperhitungkan oleh Kerajaan Galuh. Kelak dari sinilah cikal bakal sebuah kerajaan baru yang dapat menenggelamkan Galuh secara perlahan-lahan.
Pemimpin yang dikenal antara lain Surawijaya Sakti dan yang terakhir Ki Ghedeng Tapa atau Ki Jumajan Jati. Pada masa pemerintahan Ki Ghedeng Tapa itulah dibangun Mercusuar yang pertama oleh Laksamana Te Ho tahun 1415 Masehi. Mercusuar tersebut menjadi awal kebangkitan kegemilangan Pelabuhan Cirebon. Singapura telah berdiri sebelum Prabu Siliwangi naik tahta pada tahun 1428.
5.     Keraton Japura
Tentang istilah Japura atau disebut juga Angganapura, ada yang menyebutkan berasal dari nama putranya, yakni KI Agung Japura, namun ada juga yang mengatakan bahwa Japura berasal dari kata ”Gajahpura” berarti gerbang masuk keraton yang berlambang gajah. Japura ada pula yang menyebutkan berasal dari kata ‘jep’ (alat penangkap ikan atau udang) dan ‘pura’. Dari keterangan ini dapat pula disimpulkan serta memperkuat eksistensi Japura sebagai daerah pantai penangkapan dan penghasil ikan yang baik. Pengertian lainnya, Japura merupakan singkatan ‘gajah’ dan ‘pura’, artinya sebuah kota yang pada pintu gerbangnya terdapat ornamen gajah. Ada pula yang berpendapat, bahwa nama Japura diambil dari tokoh legenda yang bernama Gajah Pura atau Sri Gading yang pernah berperang melawan Gajah Paminggir karena berebut seorang putri.
Keraton Japura adalah ibukota kerajaan Medang Kamulan yang di pimpin oleh Raja Andahiyang, seorang raja keturunan Prabu Ciung Wanara sepupuan dengan Raja Banyakwangi dari kerajaan Pajajaran. Kerajaan Medang Kamulan memiliki seorang senopati yang sakti mandra guna bernama Amuk Marugul. Keraton Medangkamulyan bernama Gajahpura.  Kawasan Medangkamulyan pada waktu meliputi : sebelah Utara : Laut Jawa, sebelah Timur : Pulau Goseng (Gebang sekarang), sebelah Selatan : Manis – Luragung ( Kuningan , dan sebelah Barat : Sungai Kalijaga. Keraton Japura terletak di sebelah Timur Cirebon, pusat pemerintahan meliputi Desa Japura Kidul, Japura Lor dan Desa Astana Japura di Kecamatan Astana Japura, batas-batasnya meliputi sebelah Utara Laut Jawa, sebelah selatan Desa Cibogo dan Desa Jatipiring, sebelah Barat Desa Mundu Pesisir dan Desa Suci, dan sebelah Timur Desa Gebang. Pemimpinnya yang terkenal adalah Amuk Marugul Sakti Mandra Guna, Prabu Amuk Murugul adalah putra dari Prabu Susuk Tunggal penguasa keraton Pakuan Pajajaran. Ia memilik seorang adik yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda yang kemudian diperistri oleh Sribaduga Maharaja (Prabu Silihwangi). Karena kesaktiannya yang sangat tinggi, Prabu Amuk Marugul hanya dapat dikalahkan oleh Sri Baduga waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam).
Kartani (2003:3) sangat tertarik untuk mencatat berbagai sumber mengenai asal-usul nama Japura. Japura berasal dari kata ‘ja’ dan ‘pura’. Dalam bahasa Kawi, ‘ja’ itu artinya ‘hidup’. Sedangkan ‘pura’ artinya, ‘depan’, ‘gerbang’, ‘kota’, ‘istana’. Jadi, Japura mengandung pengertian ‘Kota Terdepan’. Kemungkinan besar nama ini juga terkait dengan kota pantai, karena pada saat itu laut adalah jalur transportasi utama. Pusat nagari ini diperkirakan terletak 17 km dari Giri Amparan jati yaitu Desa Astana Japura Kecamatan Astana Japura Kabupaten Cirebon. Di lokasi tersebut terdapat sebuah sumur yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai sumur keraton Nagari Japura. Posisi pusat pemerintahannya tak jauh beda dengan Singapura atau nagari-nagari pesisir lainnya pada masa itu yang dekat dengan pantai, hingga bisa dipastikan senantiasa terdapat muara sungai untuk pelabuhan perahu-perahu dagang atau nelayan setempat (Sunardjo 1983:22). Menurut Tom Pires (1513), kemampuan Pelabuhan Japura sebanding dengan Muara Jati. Digambarkannya Pelabuhan Japura yang terletak antara Cirebon dan Losari tersebut berpenduduk 2.000 orang, yang tersebar di berbagai dusun (Cortesao 1944:173-183).
Pada tahun 1422 terjadi peperangan antara Japura melawan Singapura pimpinan Raden Pamanah Rasa. Serangan ini mungin dilancarkan pihak Singapura karena melihat Nagari Japura yang merupakan negeri pesisir yang ramai dikunjungi perahu-perahu asing, yang jelas dapat membahayakan perekonomian Galuh. Japura oun kalah, kemudian nagari ini bergabung dengan Singapura. Tak jelas siapa orang yang ditugasi menjadi penguasa Japura setelah kalah oleh Singapura, apakah Pamanah Rasa atau orang lain yang ditunjuk oleh Prabu Anggalarang, penguasa Galuh sekaligus ayah Pamanah Rasa.
Japura diduga sebagai pemukiman tua, karena jauh sebelum dikenal sebagai nagari yang kuat. Kartani (2003:6) menyebutkan ada bukti arkeologis yakni sebuah situs yang berbentuk batu karang sebesar dan setinggi anak kecil oleh masyarakat setempat disebut Bumi Segandu. Berdasarkan pendapat para arkeolog, bahwa keberadaan Bumi Segandu merupakan tanda kepurbaan dari lokasi itu dan sekitarnya serta keberadaan dan fungsinya diidentikkan dengan menhir. Keberadaan Pelabuhan Japura tidak lepas dari pengelolaan yang baik dari pemimpinnya, yakni Raden Panji Wirajaya Sang Amuk Marugul Sakti Mandraguna. Nama ini begitu melekat dan jadi bagian tradisi tutur yang beredar luas di masyarakat Cirebon terutama daerah sekitar Astana Japura. Bagi sebagian orang nama dan gelarnya begitu mencerminkan kharisma, terkesan angker penuh wibawa.
Selain memperhatikan perkembangan pelabuhan, ia pun membangun dan mengembangkan pula sistem pengairan untuk rakyatnya yang bekerja sebagai petani, dengan membangun sebuah dam yang disebut Telaga Maharena Wijaya (Nagara Kretabhumi: 21). Telaga ini diperkirakan adalah Situ Patok yang berada di Kecamatan Astana Japura sekarang. Oleh Pemerintah Belanda, dam ini diperbaiki dan dioptimalkan fungsinya. Selain dari itu, Darma Loka yang sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuningan, juga diduga dibuat atas prakarsanya. Jika kita melihat situasi politik kerajaan Galuh Sunda Pakuan pada umumnya, sepeninggal Prabhu Niskala Wastu Kancana yang wafat pada tahun 1475 M dan dikebumikan di Nusa Larang, maka naiklah ke dua putranya. Pertama, Sang Haliwungan atau Susuk Tunggal menduduki tahta di Sunda Pakuan, sedangkan anaknya yang kedua, Ningrat Kancana berkuasa di Galuh Pakuan.
Ningrat Kancana naik tahta dengan gelar Dewa Niskala. Tiga tahun setelah menduduki singgasana yaitu 1478 M terjadi peristiwa penting di Pulau Jawa, Kerajaan Majapahit kala itu setelah dilanda pemberontakan dan perang saudara dengan pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Adipati Demak Raden Patah atau Jin Bun, putra Prabhu Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya. Akibatnya banyak petinggi Majapahit yang mengungsi, di antaranya Raden Baribin, saudara seayah Prabhu Kertabhumi.
Beserta keluarganya ia mengungsi hingga sampai ke ibukota kerajaan Galuh Surawisesa (situs Astana Gede Kawali Ciamis). Prabhu Dewa Niskala menerima dengan baik Raden Baribin beserta rombongan, bahkan lebih dari itu, putrinya Ratna Ayu Kirana dinikahkan dengan Raden Baribin. Selain itu, salah seorang gadis pengungsi Majapahit ada yang dinikahi oleh Sang Prabhu Dewa Niskala. Padahal menurut hukum yang berlaku pada masa itu, gadis itu berstatus sebagai gadis larangan, karena sudah bertunangan dan belum dibatalkan pertunangannya. Prabhu Susuk Tunggal menjadi murka. Karena dengan tindakan tersebut, jelas-jelas Prabhu Dewa Niskala sudah melanggar adat yang ditabukan oleh keluarga keturunan Prabhu Wangi, yang gugur di Bubat. Mereka bersumpah tidak akan melakukan perjodohan ataupun hubungan kekerabatan dengan Majapahit. Dengan itu, Sang Susuk Tunggal menyatakan putus hubungan kekerabatan, juga hubungan kenegaraan antara Sunda Pakuan dengan Galuh Surawisesa.
Lama-kelamaan ketegangan itu semakin meruncing, sehingga sesepuh kedua pihak yang berseteru berinisiatif untuk mengadakan musyawarah. Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah keputusan, yaitu baik Prabhu Susuk Tunggal maupun Prabhu Dewa Niskala harus bersedia turun dari tahta mereka. Sebagai pengganti mereka berdua, maka disepakati Pangeran Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa yang naik tahta pada tahun 1482 M. Dia dinobatkan dua kali pada tahun yang sama. Pertama, ia dinobatkan di Galuh Surawisesa menggantikan ayahnya dengan gelar Prabhu Guru Dewataprana. Kedua, ia menerima tahta dari Prabhu Susuk Tunggal sebagaimana hasil musyawarah para pinisepuh, dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.95 Keputusan tersebut ditengarai menirhbulkan rasa tidak senang Sang Amuk Marugul terhadap Raden Pamanah Rasa yang semakinmenjadi-jadi.Yang telah dipersiapkan Sang Prabhu Susuk Tunggal, dengan begitu saja menjadi hak dari Jayadewata.
Ada kemungkinan terjadi kontak fisik atau peperangan di antara mereka, sebab tercium upaya “pembelotan” dengan memperkuat angkatan bersenjata. Demi pemantapan dan keutuhan kerajaan kiranya pantas hal tersebut dilakukan oleh Pamanah Rasa yang mengemban titah dari para pinisepuh untuk menyelamatkan kerajaan. Sunardjo meyakini peperangan itu terjadi jauh sebelum Pamanah Rasa dinobatkan, yakni pada tahun 1422 M tak lama setelah keduanya bertemu dalam sayembara. Sunardjo meyakini bahwa Japura jatuh dengan gugurnya Amuk Marugul dalam peristiwa tersebut, dan untuk selanjutnya Japura digabungkan dengan Singapura. Jayadewata melakukan aksi tersebut dalam wewenangnya sebagai penguasa Surantaka, Sindang Kasih, sekaligus putra mahkota kerajaan Galuh (Sunardjo 1983:23). Sementara Kartani (2004:3) berpendapat lain, ekses hasil musyawarah tersebut tidak separah itu, tapi adanya ketidakharmonisan keduanya patut diduga menimbulkan percikan api peperangan sangat kuat. Keputusan itu memang berat sebelah, alias kurang adil, namun Amuk Marugul dapat mengarifinya, ia memimpin Japura hingga masa senjanya.
Kepemimpinan Japura sepeninggal Amuk Marugul digantikan oleh putranya Kyai Ageng atau Ki Gedheng Japura, hasil dari perkawinan Amuk Marugul dengan Nyai Retna Ayu Mayang Sari, putri Ki Ageng Sanggarung Raja Losari. Ki Ageng Japura memiliki putri bernama Nyai Mas Matang Sari, kemudian ia dinikahi oleh Pangeran Panjunan. Dari perkawinan tersebut lahirlah Pangeran Muhamad atau Pangeran Pelakaran. Pangeran Muhamad berputra Pangeran Santri yang kemudian menikah dengan Nyai Mas Pucuk Umum dari Sumedang. Inilah cikal bakal kerajaan Sumedang Larang.
B.    Kesultanan Cirebon
Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan. Di antara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa asal mula kata ‘Cirebon’ adalah ‘sarumban’, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi ‘Caruban’. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi ‘Carbon’, berubah menjadi kata ‘Cerbon’, dan akhirnya menjadi kata ‘Cirebon’. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai ‘Puser Bumi’, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya ‘Negeri Gede’. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi ‘Garage’ dan berproses lagi menjadi ‘Grage’. Caruban berasal dari kata Sarumban yang berarti “ Campuran “.  Penduduk setempat menamakan Carbon, Cerbon, atau Cirebon. Ada juga yang menyebut Nagari Gede atau Grage, bahkan dalam naskah lama disebut “ Puseur Bhumi “ yang berarti Poros Dunia atau tempat pusat syiar (dakwah) agama Islam.
Bangsa Portugis menyebut daerah ini Charabaon atau Cheroboam, sedangkan dalam dokumen Belanda ditulis Tsjeribon, Chirrebon, Sirrebon, atau Cheribon. Sebuah sumber manuskrip Cina Shun Feng Hsiang Sung (1430 Masehi) menyebut wilayah ini Che Li Wen.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-17 menyebutkan bahwa kota Cirebon berasal dari kata cai dan rebon (udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata cirebon adalah perkembangan kata caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat percampuran penduduk.
Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.
Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha Ki Gedeng Danuwarsih.
Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Endang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini ‘caruban’, artinya campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.
Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya,Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, merupakan generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuanamendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh Datuk Kahfi. Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana, di samping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalahMedez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten? Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan Ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki tiga anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.
 1.     Keraton Kasepuhan
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1592 oleh Pangeran Mas Mohammad Arifin II yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati II. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Ciptarasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
silsilah Keraton Kasepuhan adalah sebagai berikut.
a.  Pangeran Pasarean (P. Muhammad Arifin)
b.  Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning)
c.  Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin)
d.  Pangeran Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam)
e.  Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya)
f.  Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja (Sultan Sepuh I)
g.  Djamaludin (Sultan Sepuh II)
h.  P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III)
i.  P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV)
j.  P. Sjafiudin/Sultan Matangadji (Sultan Sepuh V)
k.  P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI)
l.  P. Djoharudin (Sultan Sepuh VII)
m.  P. Radja Udaka (Sultan Sepuh VIII)
n.  P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX)
o.  P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X)
p.  P. Radja Aluda Tajul Arifin (Sultan Sepuh XI)
q.  P. Radja Radjaningrat (Sultan Sepuh XII)
r.  P.R.A.DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (Sultan Sepuh XIII)
s.  P.R.A Arief Natadiningrat. SE (Sultan Sepuh XIV)
2.    Keraton Kanoman
Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon.Sunan Gunung Jati adalah orang yang bertanggung jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I pada sekitar tahun 1678 M.
Silsilah Keraton Kanoman adalah sebagai berikut.
a.  Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
b.  Sultan Kanoman II ( Sultan Muhammad Chadirudin)
c.  Sultan Kanoman III (Sultan Muhammad Alimudin)
d.  Sultan Kanoman IV (Sultan Muhammad Chaeruddin)
e.  Sultan Kanoman V (Sultan Muhammad Imammudin)
f.  Sultan Kanoman VI (Sultan Muhammad Kamaroedin I)
g.  Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin II)
h.  Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
i.  Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
j.  Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
k.  Sultan Kanoman XI (Sultan Muhamamad Jalalludin)
l.  Sultan Kanoman XII (Sultan Muhamamad Emiruddin)
3.     Keraton Kacirebonan
Kacerbonan merupakan pemekaran dari Keraton Kanoman setelah Sultan Anom IV yakni Pangeran Raja Muhammad Khaerudin wafat, Putra Mahkota yang seharusnya menggantikan tahta diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap sebagai pembangkang dan membrontak. Ketika kembali dari pengasingan tahta sudah diduduki oleh Pangeran Raja Abu Sholeh Imamudin. Atas dasar kesepakatan keluarga, akhirnya PR Anom Madenda membangun Istana Kacerbonan, kemudian muncullah Carbon I sebagai Pangeran Kacirebonan pertama.
Kedudukan Cirebon yang berada pada bayang-bayang pengaruh Mataram. ketika Amangkurat I berkuasa dari tahun 1646 hingga 1677. Masa pemerin tahan yang ditandai dengan banyaknya pergolakan agaknya menjadi faktor penting mengapa Cirebon semakin menjadi lemah. Pada zaman Amangkurat I, penguasa Cirebon Panembahan Ratu II, cucu Panembahan Ratu, atas permintaan Mataram berpindah ke Girilaya. Kepergiannya dari Keraton Cirebon ke daerah dekat ibukota Mataram ini disertai oleh kedua puteranya, yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya. Sebagai pengganti kedudukannya selaku Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling bungsu, yaitu Pangeran Wangsakerta.
Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662 Masehi. Sebelum meninggal beliau membagi kerajaannya menjadi dua yang diwariskan kepada kedua puteranya itu. Pangeran Martawijaya diangkat sebagai Panembahan Sepuh yang berkuasa atas Kasepuhan. Sedangkan Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan Anom yang berkuasa atas Kanoman. Sementara itu, Raja Amangkurat I yang kurang bijaksana menimbulkan kebencian di kalangan istana dan penguasa-penguasa daerah yang lain. Dengan didukung oleh seorang pangeran dari Madura bernama Tarunajaya, sang putera mahkota mengadakan pemberontakan. Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak berhasil karena perpecahan antara keduanya.
Raja Amangkurat I kemudian meninggal di Tegalwangi setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada pihak pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan pewaris tahta Cirebon kembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian kini di Cirebon bertahta dua sultan, Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan dan Sultan Anom Keraton Kanoman.
Silsilah Keraton Kacirebonan adalah sebagai berikut.
a.  Pangeran Carbon Kaceribonan
b.  Pangeran Madenda
c.  Pangeran Denda Wijaya
d.  Pangeran Raharja Madenda
e.  Pangeran Madenda
f.  Pangeran Sidek Arjaningrat
g.  Pangeran Harkat Nata Diningrat
h.  Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
i.  KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
4.     Keraton Kaprabonan
Keraton Kaprabonan mulai berdiri pada tahun 1696 M yang dipimpin oleh Pangeran Raja Adipati Kaprabon dengan cita-citanya mengembangkan agama Islam sesuai perjuangan para Waliyullah terdahulu, terutama karuhunnya Sunan Gunung Jati. Pada saat itu gejolak politik pemerintahan Belanda semakin memanas, dan perlawanan-perlawanan terhadap kolonial Belanda pun masih terus berjalan, sehingga Pangeran Raja Adipati Kaprabon ingin menjauhkan diri dari situasi tersebut dan selalu mengkhususkan diri (Mandita) dalam mengembangkan agama Islam kepada para murid-muridnya, beliau tetap mendukung perjuangan adiknya untuk mengusir kolonial Belanda walaupun tidak sampai berhasil karena pada saat itu kekuatan kolonial Belanda semakin besar dengan telah dibentuknya Pemerintahan Residen Belanda yang dipimpin oleh Delamoor. Kepemimpinan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat kuat dengan politik pendekatan persuasif dengan Kesultanan dan para tokoh masyarakat pada saat itu.
Pangeran Raja Adipati Kaprabon tetap memegang komitmen melaksanakan amanat dari Gusti Susuhunan Jati Syech Syarief Hidayatullah, yaitu “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin”. Maka dengan demikian beliau tetap tekun memperdalam agama tareqat dan menyebarkannya kepada para muridnya di sekitar wilayah Cirebon, bahkan banyak dari luar wilayah Cirebon yang berdatangan untuk menjadi muridnya, seperti dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada waktu diangkat menjadi Sultan Pandita Agama Islam Tareqat beliau telah diwarisi sebilah keris pusaka yang bernama Ki Jimat oleh Sultan Kanoman Pangeran Muhammad Badrudin dan beberapa kitab keagamaan maupun kitab pusaka dan sejarah yang sampai sekarang masih ada dan berjumlah lebih dari 100 kitab dan tersebar di 4 pengguron.
Keris Ki Jimat di dalamnya terukir dengan guratan emas dan tertulis Arab yang bermakna kalimat Tauhid dan keselamatan dunia akhirat. Setelah pesatnya perkembangan kemurdan keagamaan, 11 tahun kemudian Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada tahun 1707 M mendirikan Langgar atau Tajug untuk tempat belajar ngaji dan agama agar proses belajar tersebut dapat berjalan dengan lancar dan baik, yang akhirnya juga dapat dijadikan tempat untuk pertemuan menyusun perjuangan melawan Belanda pada waktu itu.
Dalam setiap perjuangannya untuk mengadakan pelawatan ke daerah-daerah lain, P.R.A. Kaprabon menggunakan kereta berkuda yang dikawal oleh beberapa abdi dalemnya. Dengan kelincahan dan kepandaiannya dengan dalih agama, beliau tidak pernah ditangkap oleh tentara Belanda pada waktu itu, dan penyebaran agamanya pun cukup berhasil sampai ke pelosok-pelosok.
Silsilah Keraton Kaprabonan adalah sebagai berikut.
a.  Pangeran Kusumawaningyun Kaprabon (1734 – 1766)
b.  Pangeran Brataningrat Kaprabon (1766 – 1798)
c.  Pangeran Raja Sulaiman Sulendraningrat Kaprabon (1798 – 1838)
d.  Pangeran Arifudin Kusumabratawirdja Kaprabon (1838 – 1878)
e.  Pangeran Adikusuma Adiningrat Kaprabon (1878 – 1918)
f.  Pangeran Angkawijaya Kaprabon (1918 – 1946)
g.  Pangeran Aruman Raja Kaprabon (1946 – 1974)
h.  Pangeran Herman Raja Kaprabon (1974 – 2001)
i.  Pangeran Hempi Raja Kaprabon (2001 – sekarang)


1 komentar: