A. Kerajaan Cirebon Kuno
kisah asal-usul
Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam
bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah
tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer
ditemukan. Di antara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon
adalah Carita Purwaka
Caruban Nagari, Babad
Cirebon, Sajarah
Kasultanan Cirebon, Babad
Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah
naskah Carita Purwaka
Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria
Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai
perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah Carita
Purwaka Caruban Nagari disebutkan
bahwa asal mula kata ‘Cirebon’
adalah ‘sarumban’,
lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi ‘Caruban’.
Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi ‘Carbon’, berubah menjadi kata ‘Cerbon’, dan akhirnya
menjadi kata ‘Cirebon’. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai ‘Puser Bumi’, negeri yang
dianggap terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya
‘Negeri Gede’.
Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi ‘Garage’ dan berproses lagi menjadi ‘Grage’.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung
jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan
terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana.
Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti
Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari
(ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis
oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-17 menyebutkan bahwa kota Cirebon
berasal dari kata cai dan rebon (udang kecil). Nama tersebut berkaitan
dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu membuat
terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari
Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata Cirebon adalah perkembangan kata
caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat
percampuran penduduk.
Peradaban dan kebudayaan Cirebon sesungguhnya
sudah berusia 1612 tahun karena di Cirebon pernah berdiri suatu kerajaan yang
tumbuh berbarengan dengan munculnya Tarumanagara, yaitu Kerajaaan
Indraprahasta. Setelah itu bermunculan kerajaan-kerajaan lain seperti Kerajaan
Carbon Girang, Keraton Singapura, dan Keraton Japura.
1. Kerajaan Indraprahasta
Kerajaan Indraprahasta terletak di Cirebon
Girang atau Cirebon Selatan, Kabupaten Cirebon sekarang. Kerajaan tersebut
didirikan pada tahun 285 Masehi oleh Maharesi Santanu sebagai negara
bawahan Salakanagara, yang berkuasa di Salakanagara saat itu adalah Prabu
Darmawirya Dewawarman VIII.
Kerajaan Indraprahasta didirikan oleh seorang
resi dan banyak pula raja-raja penerusnya merangkap sebagai resi atau guru.
Begitu pula Kerajaan Cirebon Islam, didirikan oleh ulama agung sekaligus
negarawan besar begitu pun para penggantinya. Jelasnya, Cirebon sejak dahulu
kalanya terbentuk oleh iklim religius yang kental dan militan karena
prajurit-prajuritnya yang gagah berani dan mahir berperang sering diminta untuk
membantu raja-raja lain. Orang Cirebon dikenal sebagai satu suku bangsa yang
cepat tersinggung dan introvert. Dikenal juga mempunyai kecenderungan ke arah
mistik dan asetik. Pada masa itu kekuasaan Islam dari segi geografis telah
menjadi super state dan dari keunggulan militer telah
menjadi super power. Lembaga pendidikan telah maju, jauh meninggalkan Eropa
dibawah peradaban Romawi dan Yunani. Kerajaan Indraprahasta berakhir pada saat
pemerintahan Pabu Wiratara yang dikalahkan Raja Sanjaya Harisdharma dari
Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Sang Maharesi masih mempunyai pertalian
kekeluargaan dengan Sang Dewawarman VIII. Karena itu, Sang Maharesi santanu
diizinkan mendirikan desa di wilayah kerajaanya. Sang Maharesi Santanu
membangun sebuah desa di tepi kali Cirebon, yang diberi nama Indraprahasta.
Gunung Ciremai yang berdiri di dekat daerahnya, diberi nama Indrakila dan kali
Cirebon yang melewati daerahnya diberi nama Gangganadi. Di bagian alur sungai
diperlebar dan diperdalam sehingga mirip danau, dinamakan penduduk setempat
sebagai Setu Gangga (Danau Gangga). Di tempat itulah diadakan upacara mandi
suci, seperti kebiasaan di daerah asal Sang Maharesi Santanu lembah Sungai
Gangga India. Reduplikasi semacam itu merupakan suatu pengabdian untuk
mengenang tanah kelahiranya. Tidak mengherankan jika orang Cirebon beranggapan
bahwa Pandawa itu sebenarnya berkerajaan di Cirebon. Kerajaan Indraprahasta
kemudian berkembang menjadi kerajaan besar. Gelar Abhiseka Maharesi Santanu
adalah Praburesi Santanu Indraswasra Sakala Kretabuana, permaisurinya bernama
Dewi Indari putri Ratu Rani Spatikarnawarmandewi dan Prabu Darmawirya. Kerajaan
Indraprahasta diperkirakan berdiri tahun 285 – 747 Masehi atau 398 – 645 saka,
lokasi keratonnya terletak di Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang).
Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon, Cirebon Girang di Kecamatan Talun.
Resi Santanu berasal dari lembah Sungai Gangga, datang ke pulau Jawa sebagai
pelarian setelah kalah perang melawan Dinasti Samudra Gupta dari kerajaan
Magada.
Maharesi Santanu adalah menantu dari
Dewawarman VIII Raja Salakanagara karena menikahi salah satu putrinya yaitu
Dewi Indari sehingga kedudukan Indraprahasta pada saat itu menjadi bawahan dari
Salakanagara. Salakanagara yang berlokasi di sekitar Pandeglang ini dinisbahkan
sebagai ‘Argyre’ atau kota perak yang terdapat dalam
catatan Claudius Ptolomeus, ahli geografi dari Alexandria.
Resi Santanu menikahi Dewi Indari putri bungsu
Rani Spati Karnawa Warmandewi, Raja Salakanagara yang ibukota kerajaannya di
Rajatapura, Pandeglang sekarang. Wilayah kerajaan Indraprahasta diperkirakan
sebelah Barat Cipunegara, sebelah Timur Sungai Cipamali, sebelah Utara Laut
Jawa, sebelah Selatan tidak ada catatan yang jelas. Raja-raja yang pernah
berkuasa adalah sebagai berikut.
Raja Indraprahasta yang pertama adalah Prabu Maharesi Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana.
Maharesi Santanu memerintah di Indraprahasta sebagai raja yang pertama dari tahun
285 – 320 saka atau 398 – 432 M dengan gelar Prabursi Indraswara
Salakakretabuwana.
Tampuk kepemimpinan Prabu Maharesi
Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana kemudian dilanjutkan oleh Prabu
Resi Jayasatyanegara. Jayasatyanagara memerintah dari tahun 320 – 343 saka atau
432 – 454 M. Pada tahun 399 M, Jayasatyanagara harus mengakui
kekuasaan Sri Maharaja Purnawarman dari Tarumanagara, nama kerajaan
baru dari Salakanagara menjadi Tarumanagara yang diganti oleh
Praburesi Jayasingawarman yang menikahi putri sulung Ratu Rani Spati
Karnawarmandewi yang bernama Dewi Minati. Sejak ditaklukan oleh Sri
Purnawarman, Indraprahasta menjadi negara bawahan Tarumanagara. Dengan
demikian, Indraprahasta menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara. Permaisurinya
Permaisuri Jayasatyanagara bernama Ratna Manik puteri Sang Wisnubumi, raja
Malabar, di kaki Gunung Malabar Bandung Selatan sekarang. Dari permaisurinya,
Jayasatyanagara memperoleh putera bernama Wiryabanyu, sebagai penguasa
Indraprahasta ketiga. Sang Wiryabanyu adalah tokoh yang menumpas pemberontakan
Sang Cakrawarman di zaman pemerintahan Sri Majaraja Wisnuwarman yang terjadi di
Tarumanegara.
Resi Wiryabanyu. Wiryabanyu
memerintah dari tahun 343 – 366 saka atau 454 – 476 M. Permaisuri Sang
Wiryabanyu berasal dari kerajaan Manukrawa (mungkin ditepi sungai Cimanuk)
bernama Nilem Sari, yang kemudian memperoleh seorang puteri bernama Suklawati
dan dijadikan permaisuri oleh Sri Maharaja Wisnuwarman, Raja Tarumanegara
keempat. Di masa pemerintahannya, Wiryabanyu membantu Wisnuwarman putra dari
Purnawarman raja Tarumanagara menumpas pemberontakan Candrawarman sehingga atas
keberhasilannya, putri Wiryabanyu yaitu Suklawati diperistri oleh Wisnuwarman
dan prajurit-prajurit Indraprahasta dipakai sebagai pasukan bayangkara
Tarumanagara. Prabu Resi Wiryabanyu merupakan mertua dari Prabu Wisnuwarman.
Prabu Wama Dewaji memerintah dari tahun 366 – 393 saka atau 476 – 503 M. Ketika
di Tarumanagara terjadi huru hara perebutan kekuasaan antara Wisnuwarman
pewaris tahta dan Cakrawarman adik Sri Purnawarman, Prabu Wiryabanyu turut
serta menumpas pemberontakan Cakrawarman.
Prabu Raksa Hariwangsa. Raksa Hariwangsa
merupakan raja Kerajaan Indraprahasta keempat yang memerintah mulai tahun 393 –
429 saka atau 503 – 538 M dengan gelar Abhiseka Prabu Raksahariwangsa
Jayabhuwana. Yang menjadi permaisurinya putri dari raja Sanggarung dan memiliki
putri yang bernama Dewi Rasmi. Dewi Rasmi bersuamikan Tirtamanggala putra kedua
dari raja Agrabinta.
Dewi Rasmi bersama suaminya yang
bergelar Prabu Tirtamanggala Darmagiriswaradinobatkan
menjadi Raja Indraprahasta menggantikan Prabu Raksa Hariwangsa. Ia memiliki dua
orang putra, yakni Astadewa dan Jayagranagara. Setelah Dewi rasmi,
Indraprahasta dipimpin oleh Prabu
Astadewa sebagai raja keenam yang mewarisi tahta Indraprahasta sejak tahun
448 – 462 saka atau 556 – 570 M dan berputra Rajaresi Padmayasa. Meskipun
Astadewa memiliki putra yang bernama Rajaresi Padmayasa, namun kepemimpinan
Inraprahasta diserahkan kepada Prabu Senapati Jayanagranagara. Jayagranagara
yang merupakan adik Astadewa sebagai raja Indraprahasta ketujuh yang berkuasa
dari tahun 462 – 468 saka atau 570 – 575 M.
Rajaresi Padmayasa merupakan putra
dari Astadewa menjadi Raja Indraprahasta yang kedelapan. Masa pemerintahannya
sebagai raja Indraprahasta berlangsung cukup lama, sejak tahun 468-512 saka
atau 575-618 M dan berputrakan Andabuwana. Prabu Andabuwana. Andabuwana sebagai
Raja Indraprahasta kesembilan juga berkuasa cukup lama, menggantikan posisi
ayahnya menjadi raja Indraprahasta sejak tahun 512 – 558 saka atau 618 – 663 M.
Prabu Wisnu Murti. Wisnumurti mewarisi
tahta kerajaan Indraprahasta dan memerintah mulai tahun 558 – 583 saka atau 663
– 688 M. Putri Wisnumurti yang bernama Dewi Ganggasari diperistri oleh
Linggawarman, Raja Tarumanagara XII. Raja Indraprahasta selanjutnya
adalah Prabu Tunggul
Nagara. Tunggulnagara diangkat sebagai penerus Wisnumurti untuk
menduduki jabatan raja Indraprahasta keduabelas sejak tahun 583 – 629 saka atau
688 – 732 M. pada masa itu ekspedisi-ekspedisi damai Islam sudah sampai di Asia
Tenggara khususnya Indonesia dan sampai ke China. TW. Arnold
mengidentifikasikan Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M.
Prabu Resi Padma Hariwangsa. Sang
Padmahariwangasa yang menjadi pendukung utama perebutan kekuasaan di Galuh yang
dilakukan oleh Sang Purbasora adalah raja ke-13 Indraprahasta. Resi guru Padma
Hariwangsa menjadi raja Indraprahasta menggantikan kedudukan Tunggul Nagara
mulai tahun 629 – 641 saka atau 732 – 744 M. Anak-anak Padma Hariwangsa yaitu,
Citrakirana yang diperistri oleh Purbasora (Sang Purbasora hanya mengulang
kisah Sri Maharaja Wisnuwarman, membentuk pasukan bayangkara dari
prajurit-prajurit Indraprahasta. Pasukan tersebut berada langsung dibawah
komando Patih Senapati Bimaraksa.
Sang Purbasora mengadakan kesiagaan dan
kewaspadaan, ia memperhitungkan kemungkinan Sang Sena yang lolos ke Jawa
tengah, akan mengadakan serangan balasan, dengan mempergunakan kekuatan pasukan
Bumi Mataram dan Bumi sambara. Sang Purbasora menyadari dengan merebut tahta
Galuh dari Sang Sena berarti hubungan Galuh-Kalingga yang pernah dibina oleh
kakeknya (Sang Wretikandayun) menjadi terputus, bahkan menjadi permusuhan.
Sebenarnya yang membakar Sang Purbasora untuk merebut Tahta Galuh adalah
permaisurinya Citrakirana. Permaisuri ini pula yang membujuk ayahnya, Rajaresi
padmahariwangsa untuk membantu upaya suaminya menjadi penguasa galuh.
Sang Purbasora, seharusnya menjadi penguasa
Indraprahasta bersama-sama isterinya yang menjadi puteri mahkota. Akan tetapi
raja Indraprahasta yang sudah tua itu melihat kepentingan lain. Bila menantunya
(sang Purbasora) menjadi penguasa Galuh, puteranya Sang Wiratara mempunyai
peluang menjadi penguasa Indraprahasta yang ke-14. Peluang tersebut memang
terjadi, Sang Wirata dinobatkan menjadi pengganti ayahnya pada tahun 719 M.
Sang Sanjaya mengetahui bahwa tulang punggung yang dijadikan andalan
keberhasilan gerakan Sang Purbasora ialah pasukan Kerajaan Indraprahasta. Sang
Sanjaya menganggap bahwa Indraprahasta merupakan sumber petaka yang menimpa
ayahnya.
Sang Sanjaya sangat menghormati ayahnya
lebih-lebih setelah ia mengethui bahwa para pemuka agama seperti Rabuyut Sawai
pun sangat menghormatinya. Dengan dendam membara Sang Sanjaya menggerakan
pasukannya ke Indraprahasta yang terletak dilereng Gunung Ciremai Cirebon.
Keamanan di Galuh untuk sementara dipercayakan kepada Patih Anggada bersama
sebagian pasukan sunda yang dipimpinnya. Sang Wirata raja Indraprahasta ketika
itu ikut menggempur Galuh, berperan sebagai salah seorang senopati Sang
Purbasora. Ia harus menerima pembalasan dendam putera Prabu Sena. Seluruh
kerajaan Indraprahasta ditundukan, termasuk keratonnya hancur lantak,
seakan-akan tidak pernah ada kerajaan didaerah Cirebon Girang. Angkatan Perang,
pembesar kerajaan, seluruh golongan penduduk, penghuni istana, kaum terkemuka,
hamper seluruhnya binasa tanpa sisa. Hanya beberapa orang yang berhasil
melarikan diri, bersembunyi dihutan, digunung, dan disungai, luput dari musuh
yang tidak mengenal belas kasihan. Pada masanya Kekhalifahan Bani Umayah terus menerus
mengirimkan ekspedisi-ekspedisi dagang dan dakwah ke negeri-negeri timur, yakni
China dan sekitarnya termasuk ke Indonesia khususnya Sumatera dan Jawa waktu
itu juga sudah terkenal. Putri Prabu Padma Hariwangsa yang bernama Citra Kirana
dinikahi oleh Purbasora putra Maharesi Sempakwaja dari kerajaan Galungung.
Prabu Wiratara. Wiratara yang
meneruskan tahta Indraprahasta sebagai raja yang keempat belasdan Ganggakirana
yang suaminya menjadi Adipati Kusala dari kerajaan Wanagiri bawahan
Indraprahasta. Wiratara yang bergelar Prabu Wiratara dan memerintah dari tahun
641 – 645 saka atau 744 – 747 M. Prabu Wirataralah yang membantu dan
mensponsori Purbasora untuk merebut kekuasaan Galuh dari Prabu Sena. Sehingga
pada tahun 645 saka atau 747 masehi, Sanjaya pendiri kerajaan Mataram Kuno
putra dari Prabu Sena yang beribukan Sannaha menuntut balas atas kematian
ayahnya. Setelah Galuh diobrak-abrik dan ditaklukan, Sanjaya memutuskan untuk
menumpas juga para pendukung Purbasora terutama Indraprahasta. Pada tahun ini
Indraprahasta diserbu oleh Sanjaya sehingga Indraprahasta yang didirikan sejak
jaman Tarumanagara akhirnya diratakan dengan tanah seolah tidak pernah ada
kerajaan di situ. Prabu Wirata Raja Indraprahasta ke-14, gugur dalam
pertempuran dan seluruh anggota keluarganya binasa. Kerajaan warisan sang
Maharesi Sentanu yang didirikan tahun 363 Masehi itu lenyap dari muka bumi
(Indraprahasta sirna ing bhumi). Kedudukannya sebagai Darmasima (Negara mereka
yang dilindungi sebagai Negara leluhur) telah berakhir. Bekas kawasan
Indraprahasta oleh sang Sanjaya diserahkan kepada Adipati Kusala Raja wanagiri,
menantu Sang Padmahariwangsa suami Ganggakirana. Kerajaan Wanagiri pengganti
kerajaan Indraprahasta di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Pada abad ke-15
Masehi kerajaan Wanagiri menjadi Kerajaan Cirebon Girang.
2. Keraton Carbon Girang
Pasca penghancuran Indraprahasta dan
terbunuhnya Purbasora dan Wirata, kemudian Sanjaya mengangkat Kusala sebagai
penguasa Indraprahasta dan Wanagiri dan berkedudukan di Wanagiri, ketika itu
sudah menjadi bawahan Galuh. Keraton Carbon Girang cikal bakalnya berasal dari
keraton Wanagiri didirikan oleh Ki Ghedeng Kasmaya, setelah runtuhnya
Indraprahasta. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Ghedeng
Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Ghedeng Carbon Girang hasil
perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana. Keraton Carbon
Girang antara lain diperintah oleh: Ratu Dewata yang juga disebut Ki Ghedeng
Kasmaya dan Ki Ghedeng Carbon Girang.
Tentang Cirebon Girang pada periode berikunya
disebut-sebut memiliki kaitan dengan keturunan dari Prabu Guru Pangadiparamarta
Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang bertahta di Kerajaan Sunda-Galuh (1357 –
1371). Sang Bunisora ketika itu bertindak sebagai pengganti raja setelah
kakaknya (Prabu Wangi) gugur di Palagan Bubat. Sang Bunisora dikenal pula
sebagai Pandita Ratu yang memiliki sebutan tinggi keagamaan di jamannya, ia pun
sangat toleran terhadap pemeluk agama lainnya, bahkan salah satu putranya,
yakni Sang Bratalagawa, putera kedua Sang Bunisora yang usianya dua tahun lebih
muda dari sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, disebut sebut sebagai Haji
Galuh Pertama dan dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh.
Sang Bunisora dari permaisuri di antaranya
ialah Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, yang menjadi penguasa Kerajaan Cirebon
Girang. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Gedeng Kasmaya
memiliki anak pertama bernama Ki Gedeng Carbon Girang hasil perkawinannya
dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana. Berakhirnya Keraton Carbon
Girang diperkirakan tahun 1445.
Pasca Pangeran Walangsungsang diangkat
menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki
Danusela, maka pada tahun 1447, wilayah Carbon Girang disatukan di bawah
kekuasaan Kuwu Carbon II. Untuk kemudian pada tahun 1454 ia diangkat oleh Raja
Pajajaran (Prabu Silihwangi) untuk menjadi Tumenggung di wilayah tersebut
dengan gelar Sri Mangana.
3. Keraton Caruban Larang
Caruban Larang merupakan lalu lintas perniagaan
“ mancanegara” pada masanya. Awalnya sebuah desa nelayan kecil bernama Dukuh
Pasambangan terletak sekitar lima Kilometer sebelah utara Kota Cirebon
Sekarang, selanjutnya desa ini berkembang menjadi kota Pelabuhan
yang ramai bernama Caruban Larang. Berdasarkan tutur tradisi Cirebon diyakini
bahwa Caruban Larang didirikan pada 1 Muharam tahun Alip 1302 Jawa atau 1389
Masehi. Titimangsa tersebut untuk sementara ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota
Cirebon.
Muara Jati (sekarang alas konda) adalah nama
pelabuhannya, di sana yaitu di puncak Gunung Amparan Jati didirikan Mercusuar
oleh Laksamana Cheng Ho untuk memandu kapal-kapal yang hendak berlabuh di Muara
Jati, sehingga pelabuhan Muara Jati menjadi ramai disinggahi kapal
dan perahu dagang dari berbagai penjuru bumi antara lain Arab, Persi, India,
Malaka, Tumasik (singapura), Paseh, Wangkang (Cina), Demak, Jawa Wetan, Madura,
Palembang, maupun Bugis.
Kemenangan Raden Pamanah Rasa dalam sayembara
adu jurit serta memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Syekh Quro, maka Raden
Pamanah Rasa atau Pangeran Jayadewata berhak menikahi Nyai Mas Subang Larang
atau Subang Karancang. Dapat dipastikan bahwa untuk selanjutnya Nyai Subang
Larang diboyong ke Keraton Galuh Surawisesa, karena pada masa itu Pamanah Rasa
belum menjadi Raja Pajajaran, bahkan Ningrat Kancana ayahnya belum lagi
dilantik menjadi raja di Galuh. Dari perkawinannya mereka dikarumai tiga orang
anak yaitu Raden Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M, Nyai Lara atau
Rara Santang lahir pada tahun 1426 M, dan Raja Sengara lahir pada tahun 1428 M.
Pada tahun 1441 M Nyai Subang Larang jatuh sakit hingga meninggal dunia.
Semenjak kematian ibunya, ketiga kakak beradik mendapat perlakuan yang kurang
menyenangkan dari saudara-saudara lain ibu (Atja 1986:32). Hal tersebut membuat
gerah Raden Walangsungsang, hingga setahun kemudian (1442 M) ia keluar dari
keraton melintasi hutan belantara.
Dalam tradisi masyarakat Cirebon, antara lain
tercatat dalam Babad Klayan (Hadisutjipto 1989; Arismunandar dan
Pudjiastuti 1996:224), digambarkan perjalanan yang dilaluinya begitu berat, tak
berapa lama ia sampai di Gunung Merapi. Di situ berdiam seorang pandita
penganut aliran Budhaprawa (Syiwa Buddha) yang sangat luhung bernama Sang Hyang
Danuwarsih. Sang Hyang Danuwarsih adalah putra dari Sang Danusetra, pendeta
agung di Pegunungan Dieng. Setelah berdiam cukup lama, Walangsungsang diberi
berbagai benda pusaka (Rais 1986:18-19), serta dinikahkan dengan putri Sang
Pendeta yang bernama Nyai Indang Geulis atau Nyai Indang Ayu yang diam-diam
telah lama menaruh hati pada putra Prabhu Siliwangi tersebut (Rais 1986:15;
Atja 1986:32).
Benda-benda pusaka yang dianugerahkan Sang
Hyang Danuwarsih kepada Walangsungsang adalah sebuah cincin yang bernama
Ali-ali Ampal. Cincin ini berkhasiat dapat melihat barang gaib, dapat menyimpan
berbagai macam benda, serta bisa mengabulkan apa saja yang dikehendaki. Baju
Kemayan, baju ini memiliki kelebihan, barangsiapa yang memakainya tak terlihat
oleh orang lain. Selain itu, baju ini menjauhkan si pemakai dari maksud-maksud
jahat. Di atas baju tersebut terdapat gambar kembang daun tulisan Arab
berbunyi, “Barang siapa takut kepada Allah, maka Allah akan membuka jalan
keluar dari kesulitan-kesulitan dan akan memberikan rezeki kepadanya yang tidak
diduga-duga dan dengan tidak berjerih payah lagi”. Baju Pengabaran, memiliki
khasiat, jika dipakai akan menimbulkan keberanian yang tiada terkira dalam
menghadapi musuh, terlepas kuat atau lemahnya lawan, bahkan bukan hanya bangsa
manusia atau hewan, bangsa jin dan setan pun akan tunduk. Pada baju tersebut
tertulis, “Berbaktilah kepada Tuhanmu hingga ajalmu datang”. Baju Pengasihan,
baju ini berkhasiat, siapa pun yang memakainya akan dikasihi oleh orang banyak.
Tertulis di baju tersebut, “Sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang
takwa kepada-Nya”. (M Rais 1986:18-19).
Sementara itu, tanpa sepengetahuan orang tua,
Nyai Rara Santang menyusul kakandanya. Setelah sekian lama ia berjalan tanpa
memperdulikan keselamatan jiwa dan raganya, tibalah ia di Gunung Tangkuban
Perahu. Di tempat itu ia bertemu dengan Nyai Indang Sukati. Kepada wanita tua
itu, ia menceritakan maksud dan tujuan perjalanannya. Nyai Indang Sukati
memberi petunjuk agar hal tersebut ditanyakan kepada Ki Ajar Sakti di
Argaliwung. Sebelum Nyai Rara Santang melanjutkan perjalanan, Nyai Indang
Sukati memberinya sebuah baju azimat bernama Baju Hawa Mulia. Baju Hawa Mulia
ini memiliki kekuatan: pemakainya dapat melayang di atas tanah, berjalan di
atas air, dan tak terbakar api (Rais 1986:16). Tiada berapa lama, ia bertemu
dengan Ki Ajar Sakti yang memberikan petunjuk jika ingin menemukan Raden
Walangsungsang hendaklah ia menuju arah timur-selatan, ia akan menemukan Sang
Kakak di Gunung Merapi.
Tanpa terasa tibalah Nyai Rara Santang di
tempat yang dituju, tempat kakaknya berada, kedatangannya diterima dengan baik
oleh Raden Walangsungsang, Sang Hyang Danuwarsih memberi saran agar untuk
sementara tinggal di situ. Selanjutnya Sang Hyang Danuwarsih menyarankan agar
ke dua putra-putri Prabhu Siliwangi untuk meminta petunjuk kepada Sang Hyang
Nago di Gunung Kumbang. Maka berangkatlah kedua kakak-beradik ke Gunung
Ciangkup disertai istri Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis.
Setibanya mereka di Gunung Ciangkup, mereka
bertemu dengan Sang Hyang Nago. Kepadanya Pangeran Walangsungsang menuturkan
seluruh maksud dan tujuan. Sang Hyang Nago mendengar penjelasan tersebut, lalu
menerangkan bahwa jika ingin mencari perihal agama Islam hendaknya bertanya
kepada Sang Hyang Nago di Gunung Kumbang. Sebelum tiga orang tersebut pergi,
Sang Hyang Nago memberikan berbagai ilmu, serta mewariskan sebuah senjata
pusaka yang bernama Golok Cabang. Konon, golok cabang ini dapat terbang dan
berbicara layaknya manusia (ngucap tata jalma). Ilmu yang diberikan Sang Hyang
Nago kepada Walangsungsang terdiri dari: Ilmu Kadewan, yaitu
kemampuan dapat memperteguh keyakinan seseorang dalam beragama. Ilmu
Kapik’san, yaitu ilmu yang dapat menimbulkan wibawa yang
besar, serta pemiliknya akan dikasihi segenap makhluk. Ilmu Keteguhan, yakni ilmu yang
membuat pemiliknya kebal, kuat, dan perkasa. Ilmu Pengikutan, yaitu
ilmu yang dapat mempengaruhi seluruh makhluk. Sedangkan senjata pusaka yang
bernama Golok Cabang, memiliki kekuatan apabila ia ditebaskan ke arah singa,
maka singa itu akan hancur lebur. Begitu juga gunung, laut, dan hutan atau apa
pun yang terkena Golok Cabang akan binasa (Rais 1986:20).
Sesuai petunjuk Sang Hyang Nago, berangkatlah
mereka bertiga ke Gunung Kumbang. Sesampainya mereka di sana, Raden
Walangsungsang menyampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuan meraka bertiga
kepada Sang Hyang Nago. Namun, seperti yang sudah-sudah, keinginan mereka untuk
memperdalam agama Islam tak bisa terlaksana. Sang Hyang Nago hanya memberi
pentunjuk agar mereka melanjutkan perjalanan ke Gunung Cangak dan menemui Ratu
Bangau, ia pun tak lupa membekali Walangsungsang dengan berbagai ilmu dan benda
pusaka. Ratu Bangau tinggal di satu pohon yang tingginya 500 m yang setiap
dahan dan rantingnya dipenuhi oleh ribuan bangau. Terjadi sedikit perlawanan dari
Ratu Bangau, namun oleh Walangsungsang akhirnya Ratu Bangau dapat ditaklukan
(Rais 1986:11-20). Peristiwa perjumpaan Walangsungsang dengan Ratu Bangau
diabadikan dalam lagu Cingcing Duwur, Kajongan, Pari Anom,
Rambu Gede, Rambu Cilik, dan Bango Butak atau Rara Butak.
Lagu-lagu tersebut merupakan bagian dari
tujuh lagu yang biasa dimainkan dengan Gamelan Sekaten dan diperdengarkan
setiap bulan Maulud pada saat upacara panjang jimat. Menurut Raden
Sangkaningrat (bagian seni gamelan Keraton Kanoman), ada enam lagu yang
dimainkan menjelang upacara Panjang Jimat, dan merupakan lagu-lagu perjuangan
yang menggambarkan perjuangan prajurit-prajurit Cirebon menghadapi Ratu Bangau
yang belum mau masuk Islam dari Gunung Cangak atau Gunung Srandil. Lagu-lagu
itu terdiri dari: Lagu Sekaten, lagu ini menempati urutan pertama dalam
rangkaian lagu-lagu Sekatenan, karena Sekaten berasal dari kata ‘syahadatain’. Durasi lagu
ini mencapai 1 jam. Jumlah pukulan gong besar harus tepat 100 kali, yang
bermakna jumlah dzikir 100 kali. Lagu Cingcing Duwur, lagu ini mengingatkan
pada para pendengarnya, bahwa peristiwa tersebut berlangsung di atas tanah yang
becek, sehingga memaksa para prajurit mengangkat (nyingcing) kainnya
tinggi-tinggi (duwur). Lagu Kajongan, Kajongan artinya melompat, diceritakan
kondisi tanah yang becek serta banyak terdapat saluran air, mengakibatkan para
prajurit berjalan melompat-lompat. Lagu Pari Anom. Pari Anom artinya padi muda,
kala peristiwa itu terjadi sebagian sawah di sekitar tempat itu sudah mulai berbuah.
Lagu Rambu Gede dan Rambu Cilik. Ke dua lagu ini mengisahkan waktu Ratu Bangau
tertangkap, prajurit Cirebon mengerubutinya ramai-ramai. Sebagian dari mereka
mencengkramnya, dengan cengkraman besar ataupun kecil. Lagu Bangau Butak atau
Rara Butak. Lagu ini diilhami dari kejadian setelah kekalahan Ratu Bangau, ia
tertangkap dengan rambut terjambak. Jambakan itu mungkin demikian kerasnya
hingga ia merasa kesakitan (rara), bahkan akibat Jambakan itu kepala Ratu
Bangau menjadi botak. Lagu ini mendapat tempat khusus dalam penyajiannya. Ia
muncul lima kali dari seminggu, selama penyajian lagu-lagu Sekatenan. Adapun
rincian waktunya sebagai berikut: Pertama, pukul 21.00 pada hari pertama.
Kedua, pukul 24.00 hari pertama. Ketiga, pada tanggal 11 Maulud malam 12 Maulud,
pukul 21.00 tepat di saat keluarnya rombongan panjang jimat dari pintu Si
Blawong. Keempat, pukul 24.00 pada malam yang sama. Kelima, pada hari penutupan
tanggal 12 Maulud sore hari pukul 16.00).
Setelah Ratu Bangau mengaku takluk, ia pun
memberi petunjuk yang diharapkan Walangsungsang, bahwa apabila ia ingin mencari
agama Islam, pergilah menuju ke Gunung Jati. Selain dari itu ia pun membekali
dengan benda-benda pusaka (Rais 1986:21-22). Adapun pusaka-pusaka yang
diberikan oleh Ratu Bangau adalah Panjang Zimat, Pendil Sewu, dan Bareng.
Setelah sekitar tiga tahun belajar pada Syekh Datul Kafi di daerah Amparan
Jati, Raden Walangsungsang bersama isteri dan adiknya, Nyai Lara Santang
dianggap telah selesai mempelajari agama Islam. Oleh gurunya Raden Walangsungsang
diberi nama Ki Somadullah. Mereka kemudian dianjurkan untuk mendirikan
pedukuhan di Kebon Pesisir (sekarang Lemahwungkuk) yang pada waktu itu disebut
dengan Tegal Alang-alang. Pedukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng Danusela
yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang.
Sekitar lima tahun kemudian, datanglah Ki
Somadullah atau Raden Walangsungsang dari puncak Amparan Jati bersama istri,
dan adik perempuannya. Setibanya di Kebon Pesisir, ia kemudian diberi gelar
Pangeran Cakrabuwana. Dikisahkan, bila malam dua pasangan suami istri, yakni Ki
Gedeng Alang-alang beserta istri dan Ki Somadullah beserta istri, bekerja
mencari rebon (udang kecil) dan ikan di sungai yang ada di sebelah timur
rumahnya dan di pinggir pantai. Rebon dan ikan itu dipakai sebagai bahan untuk
membuat terasi dan petis. Konon, terasi dan petis yang dihasilkan Ki Somadullah
dikenal enak, dan semakin hari pembeli yang datang ke Dukuh Lemah Wungkuk untuk
membeli barang itu bertambah banyak. Para pendatang bukan hanya dari daerah
sekitar seperti Desa Pesambangan dan Muarajati, tetapi juga dari wilayah Sunda,
bahkan dari negeri Arab dan Cina. Lama kelamaan mereka tidak sekedar membeli
terasi dan petis, tetapi menetap di daerah ini; dan bahkan para pendatang ini
ikut membuat terasi dan petis. Pada akhirnya, Dukuh Lemah Wungkuk sejak tanggal
14 paro-peteng bulan cetra 1367 Saka (1445/1446 M), disebut Dukuh Carbon, yang
berasal dari kata ‘cai’ dan ‘rebon’.
Dari cerita yang beredar di masyarakat,
disebutkan Ki Gedeng Alang-alang terpilih menjadi Kuwu Caruban yang pertama,
sedangkan Ki Somadullah menjadi Pangraksabumi (wakil kuwu) dengan gelar Ki
Cakrabumi. Pada tahun 1450 M Ki Somadullah mengerahkan orang-orang untuk
bersama-sama mendirikan tajug (musholla) di daerah Jelagrahan dan membuat gubuk
di sekitarnya. Pendirian tajug dan dibukanya perkampungan (sekarang menjadi
Keraton Kanoman) tersebut merupakan salah satu tanda perkembangan Islam di
Cirebon. Perkampungan ini pada saatnya menjadi cikal-bakal bagi kota Cirebon.
Sejak saat itu Pangeran Walangsungsang giat
menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon, sedangkan untuk daerah di
luar Cirebon masih belum terjamah. Hal itu, disebabkan pada waktu itu Cirebon
masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, yang hampir sebagian
masyarakatnya masih beragama Hindu dan Budha. la mendiami rumah dekat tajug
Jelagrahan sambil mengajar agama Islam kepada penduduk. Dengan meningkatnya
jumlah penduduk Cirebon serta semakin banyaknya kaum muslimin dari luar Ckebon
yang ingin memperdalam agama Islam, kondisi Jalagrahan tidak dapat lagi
menampung umat Islam dalam menjalankan berbagai kegiatan keagamaan di Cirebon,
ttiaka perlu didirikan masjid baru dengan ukuran yang lebih besar. Untuk itulah
dibangunlah masjid baru yang dinamakan Masjid Agung Ciptarasa. Masjid ini
merupakan masjid resmi Kesultanan Cirebon. Menurut keterangan, masjid ini
didirikan oleh Wali Sanga dan pembangunannya dipimpin oleh ahli bangunan dari
Majapahit yang bernama Raden Sepat. Salah satu tiang masjid ini disebut “Saka
Tatal” karena terbuat dari susunan ‘tatal’ (potongan-potongan kayu).
Ketika Ki Gedeng Alang-alang meninggal, atas
persetujuan rakyat setempat, Ki Somadullah diangkat menjadi Kuwu Dukuh Lemah
Wungkuk menggantikan mertuanya dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Beliau
menjalankan industri rumah tangga yaitu membuat terasi dan petis. Pada saat Ki
Somadullah menjabat sebagai Kuwu Caruban II keadaan daerah ini semakin ramai.
Selanjutnya oleh Pangeran Cakrabuana, Caruban ditingkatkan menjadi sebuah
negeri dengan sebutan Caruban Larang. la juga membentuk laskar yang mengawal
keamanan wilayah dengan segala kelengkapannya. Setelah mengambil harta
peninggalan Ki Gedeng Tapa dari Kerajaan Singapura (± 4 km, sebelah utara makam
Sunan Gunung Jati), Pangeran Cakrabuana mendirikan bangunan baru berupa istana
yang diberi nama Keraton Pakungwati pada tahun 1452 M. Dengan dibangunnya
Keraton Pakungwati ini, menandakan bahwa Cirebon sudah mulai berfungsi sebagai
pusat pemerintahan lokal.
Menjelang timbulnya kekuasaan politik Islam
Cirebon, kedudukan Ckebon masih berada di bawah Tohaan di Galuh (1475-1482).
Baru setelah itu, Cirebon dipegang oleh Sunan Gunung Jati dan dapat melepaskan
diri dari kekuasaan Kerajaan Galuh Sunda Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu
rajanya adalah Sang Ratu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal
dengan sebutan Prabhu Siliwangi (1482-1521). Mulai saat itu, Ckebon merupakan
sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat dan tidak lagi di bawah kekuasaan manapun.
Pada saat ini, Ckebon sudah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda.
Eksistensi Cirebon yang semakin kuat dengan
berkembangnya agama Islam pada akhirnya berbenturan dengan kedaulatan Kerajaan
Galuh. Satu demi satu daerah kekuasaan Galuh seperti Palimanan, Cangkuang,
Luragung (Kuningan), Rajagaluh dan Talaga (Majalengka), dan Cimanuk (Indramayu)
ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Cirebon.
4. Keraton Singapura
Singapura merupakan sebuah pemerintahan
bawahan Galuh yang sejajar dengan Keraton Carbon Girang. Nagari ini terletak
kira-kira 4 km di sebelah utara Giri Amparan Jati. Luas wilayah secara pasti
tidak jelas, tetapi indikasi batas-batasnya dapat ditemukan. Di sebelah utara
berbatasan dengan Nagari Surantaka, di sebelah barat berbatasan dengan Nagari
Wanagiri, di sebelah selatan dan timur dengan Nagari Japura, dan di sebelah
timurnya, Laut Jawa (Teluk Cirebon). Pusat pemerintahannya berada di Desa
Mertasinga Kecamatan Cirebon Utara Kabupaten Cirebon. Sisa-sisa istananya yang
masih ada hingga sekarang adalah gerbang istana, yang oleh masyarakat setempat
disebut Lawang Gede.
Nagari Singapura dipimpin oleh Ki Gedheng
Surawijaya Sakti, adik dari Prabhu Dewa Niskala. la memiliki seorang istri
bernama Nyai Indang Sakati, putri dari Giri Dewata atau Ki Gedheng Kasmaya
penguasa Nagari Wanagiri. Sayang dalam perkawinan itu mereka tidak dikaruniai
keturunan.
Selanjutnya kepemimpinan dilanjutkan oleh
adiknya, Ki Gedheng Tapa yang telah lama membantunya menjadi Mangkubhumi, juga
menjadi Juru Labuhan Pelabuhan Muara Jati kedua sepeninggal Juru Labuhan
pertama, Ki Gedheng Sedhang Kasih. Secara persis, pelimpahan kekuasaan atau
tahun wafatnya Ki Gedheng Surawijaya Sakti tidak diketahui. Di bawah
kepemimpinan Ki Gedheng Tapa atau Ki Jumajan Jati, Pelabuhan Muara Jati maju
pesat dan menjadi pelabuhan yang sangat diperhitungkan. Ternyata dipicu oleh
denyut nadi pelabuhan itu, muncullah sebuah pedukuhan yang dipenuhi oleh
kegiatan perdagangan yang bernama Pasambangan. Yang kemudian hari menjadi salah
satu pusat kegiatan penyebaran Islam di Jawa yang biasa disebut Puser Bumi.
Seperti yang tercatat dalam Purwaka Caruban Nagari (1720:13).
Kala samana sinuku eng Giri Sembung lawan
Ngamparan Jati huwus mangadeg lawas Pasambangan dukuh wastanya// Paratidina
janmapadha ikang dol-tinuku samya atekeng engke/i sedheng parirenan kang prahwa
Muhara Jati dumadi akrak/ mapan ri nanawidha kang palwa nityasa mandeg
engkene// Pantara ning yata saking Cina negari Ngarab/ Persi/ Indiya/ Tumasik/
Paseh/ Jawa Wetan Mandura lawan Palembang/ matang ika Pasambangan dukuh
dumadyakna akrak mwang janmapadha// Kahanannya subika/
Pada masa itu di kaki gunung Amparan Jati
telah berdiri sejak lama dukuh yang namanya Pasambangan. Tiap-tiap hari warga
masyarakat datang di situ untuk berjual beli, sedangkan persinggahan perahu
Muhara Jati menjadi ramai, karena bermacam-macam perahu berhenti disitu. Di
antara perahu-perahu itu dari negeri Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik
(Singapura), Pasai, Jawa Timur, Madura, dan Palembang. Karena itu dukuh
Pasambangan menjadi ramai dan warga masyarakat kehidupannya sejahtera…
Keberadaan Muara Jati sebagai sebuah
pelabuhan tercatat pula dalam “Suma Oriental” karya Tome Pires (1513
diterjemahkan oleh Armando Cortesao pada tahun 1944). Pires menyebutkan,
Pelabuhan Cerimon/Cheroboan merupakan pelabuhan yang baik. Di situ setiap waktu
ada empat atau lima jung (perahu) berlabuh, terbanyak dari jenis lanchara
(sejenis perahu yang jalannya sangat cepat). Jung dapat berlayar hingga 15 km
ke hulu sungai. Pelabuhan itu berpenghuni lebih dari 1.000 orang, beras, dan
berbagai jenis bahan makanan merupakan komoditas yang diperdagangkan. Selain
dari itu diperdagangkan pula kayu, yang kualitasnya terbaik di seluruh Pulau
Jawa.
Selanjutnya Purwaka Caruban Nagari
menceritakan kedatangan armada Angkatan Laut Cina pada tahun 1415 M yang
dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho atau Zheng He atau Te Ho yang beragama Islam.
Armada itu berkekuatan 63 perahu dengan jumlah pasukan 27.800 orang. Namun
dalam Nagara Kretabhumi 1.2 (1692:14) jumlah pasukan dan jumlah perahu dalam
muhibah itu agak berbeda. Nagara Kretabhumi 1.2 menyebutkan jumlah pasukan
2.700 orang dengan menggunakan perahu ±100 buah. Sedangkan Sunardjo (1996:19)
mengungkapkan, Laksamana Cheng Ho yang merupakan keturunan Mongol melakukan
tujuh kali pelayaran dari tahun 1405 M-1425 M dengan armada sebanyak 200 jung
atau perahu besar dengan masing-masing berbobot mati ±80-100 ton. Mereka
melaksanakan tugas muhibah keliling itu atas perintah Kaisar Cina Cheng Tu atau
Yung Lo, raja dinasti Ming III. Tugas utama misi ini adalah membina
persahabatan yang erat dengan kerajaan-kerajaan di seberang lautan (Sudjana
1996:181).
Dalam masa tujuh kali pelayarannya, ia
berhasil memindahkan 25.000 orang Cina dari Provinsi Yunan dan Swatow di Cina
selatan ke Palembang, Kalimantan, dan Pulau Jawa. Di Jawa, imigran dari Cina
ditempatkan di Banten, Cirebon, Semarang, Juwana, Jepara, Gresik, Ampel
(Surabaya), dan Bangil.
Rahardjo (2004), menceritakan cerita rakyat
yang mengisahkan, bahwa karena banyaknya perahu armada Cina dan bentuknya lebih
besar dari perahu yang biasanya berlabuh di Muara Jati, maka sebagian perahu
ditambatkan di sebuah sungai. Peristiwa tersebut diabadikan menjadi nama
perkampungan yang tak jauh dari sungai tersebut, perkampungan itu diberi nama
Celangcang, berasal dari kata ‘nyangcang’ yang artinya menambat. Sungai tempat
menambat itu pun diberi nama Bengawan Celangcang. Sekarang sungai itu menjadi
sempit, lebarnya kira-kira hanya 4-5 meter saja. Peristiwa itu menurut Nagara
Kretabhumi terjadi pada tanggal 14 “paro peteng” Palguna Masa tahun 1337
S/ 1415 M. Armada itu dipimpin Laksamana Cheng Ho, Ma Hwan selaku sekretaris
merangkap pencatat, Kung Way Ping selaku Panglima Angkatan bersenjata, Wang
Kheng Wong sebagai kapten kapal, dan Pey Shin sebagai pencatat.
Sudjana selanjutnya menyebutkan, dalam perjalanannya
menuju Canggu (Majapahit), mereka singgah di Pura Karawang, dalam fombongan itu
terdapat pula seorang ulama yang bernama Syekh Hasanudin dari Campa (Vietnam
Selatan) yang bermaksud menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Lalu sang ulama
turun di Kerawang, sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan ke arah timur
menuju Majapahit, dan singgah selama satu minggu. Dalam persinggahannya yang
hanya berlangsung satu minggu, armada Cina itu ternyata sempat pula mendirikan
mercusuar di atas Bukit Amparan Jati. Seperti yang dikisahkan Purwaka Caruban
Nagari (1720:14-15):
Cinarita hana ta prasadha tunggang prawata
Ngamparan Jati/ yawat ta ratrikala ring kadhohan murub katinghalan kadi
linthang kang tejamaya// Kunang iking prasadha palinggannya/ pasisk Muhara Jati
ikang mangadegna yata baladika Cina Wa Heng Ping ngaranira lawan Sang Laksamana
Te Ho sabalanya kang sahanira tan ketung/ irika ta ring// Pasambangan ing
lampakhira umareng Majapahit mandeg sawatara ing Muara Jati/ ri huwuska tamolah
ing Pasambangan desa/ magawe karya ring Sang Juru Labuhan tan masowe panatara
ning akara// Pitung rahina kulem/ ri huwus ika prasadha tinuku dheng sira Ki
Juru Labuhan yeka kang dumadi Mangkubumi makanama Jumajan Jati/ tinukar lawan
uyah/ trasi/ beras tuton/ grabadan// Lawan kayu jati/ umangkat ring Jawa Wetan
tumuli/ sampunya kabeh pepek sjro ning prahwanka/…
Diceritakan ada mercusuar di atas Gunung
Amparan Jati. Pada malam hari tampak berbinar-binar dari kejauhan, bagaikan
bintang cahayanya berkilauan. Adapun mercusuar itu seakan-akan tanda bagi
pantai Muara Jati. Yang mendirikan itu Angkatan Bersenjata Cina yang tidak
terhitung banyaknya di bawah Panglima Besar Wa Heng Ping namanya dan Laksamana
Te Ho. Mereka berhenti di Pasambangan dalam perjalanan menuju Majapahit, berlabuh
untuk sementara di Muara Jati. Tidak berapa lama, kira-kira tujuh hari tujuh
malam. Setelah mercusuar itu selesai dibangun, dibayar oleh Juru Labuhan, yang
menjadi Mangkubumi, bernama Jumajan Jati. Ditukar dengan garam, terasi, beras
tumbuk, rempah-rempah dan kayu jati. Kemudian mereka berangkat menuju Jawa
Timur, setelah semua perahu sarat muatan di dalamnya…
Menurut Kartani (2004), mercusuar itu
materialnya adalah bambu, bahan itu dipilih karena memperhitungkan
karakteristik tanah di sekitar Jawa Barat pada masa itu yang rawan longsor.
Saat ini mercusuar itu tinggal pondasinya, itu pun sangat sulit untuk dikenali.
Jika kita melihat apa yang tercatat dalam Nagara Kretabhumi dan Purwaka Caruban
Nagari, maka keberadaaan mercusuar karya bangsa Cina itu, ternyata bukan saja
sebagai tengara (pertanda) bagi kapal dan perahu, tetapi mercusuar itu juga
merupakan tengara, bahwa akan datang sebuah perubahan zaman, yakni masuknya
agama Islam. Hal ini terbukti dengan setelah kedatangan armada Cheng Ho banyak
berdatangan pendatang beragama Islam. Datanglah ulama yang bernama Syekh
Hasanudin bin Yusuf Sidik yang berkeinginan untuk menyebarkan Islam di tatar
Sunda. Berkat usaha Ki Gedheng Tapa yang gigih, ia dapat membujuk ayahnya,
Prabhu Niskala Wastu Kancana agar diberi izin membuka pesantren di Karawang.
Bahkan putrinya, Subang Larang atau Nyai Mas Larang Tapa85 -yang lahir pada
tahun 1404 hasil perkawinannya dengan Nyai Ratna Kranjang (putri dari Ki Ageng
Kasmaya atau Giri Dewata pemimpin Nagari Wanagiri) menjadi murid Syekh
Hasanudin. Di pesantren tersebut kemudian Syekh Hasanudin lebih terkenal dengan
nama Syekh Quro. Letak bekas pesantrennya berada di Desa Talagasari Kecamatan
Talagasari Kabupaten Karawang. Di Karawang ia mendapat seorang istri putri dari
Ki Ageng Karawang yang bernama Ratna Sondari. Darinya ia memperoleh putra yang
bernama Syekh Ahmad yang nantinya menjadi penghulu Karawang I.
Syekh Hasanudin berasal dari Campa (Vietnam
Selatan), ia kemari ditemani oleh putranya Syekh Bantong atau Tan Go Hwat, yang
kemudian tinggal di Gresik sebagai saudagar besar dan guru agama. Dari
perkawinannya dengan Siu Te Yo ia memperoleh putri yang bernama Siu Ban Ci. Siu
Ban Ci inilah yang kelak melahirkan anak bernama Jin Bun atau lebih terkenal
dengan nama Raden Patah, Raja Demak pertama.
Jika melihat kegigihannya berusaha untuk
mendapatkan izin serta mengizinkan putri semata wayangnya belajar ke Malaka
ditemani oleh sepupunya Nyi Acih Putih, putri dari Nyai Rara Rudra dengan Tan
Pwa Wang atau Ki Dampu Awang seorang saudagar kaya dari Cina (Nagara
Kretabhumi, 1692:13), dan baru pulang pada tahun 1518, dan selanjutnya ia
belajar di pesantren Syekh Quro, maka melihat hal itu, besar kemungkinan Ki
Gedheng Tapa adalah seorang muslim. Hal tersebut tidaklah aneh, sebab jauh sebelum
Ki Gedheng Tapa, sudah ada kerabat kerajaan Sunda Galuh yang menjadi muslim.
Tercatat (Sudjana 1996:179-180) bahwa putra Sang Bunisora yang kedua (lahir
1350 M), Bratalegawa, yang senang berniaga sering bepergian jauh hingga ke luar
negeri. la dikenal sebagai pedagang yang sukses memiliki banyak kapal dagang.
Bukan hanya emas permata yang ia miliki, ia pun memliki beberapa rumah
peristirahatan baik di lereng gunung maupun di tepi sungai.
Dalam perjalanan dagangnya, adakalanya ia
berhubungan dengan pedagang dari Timur Tengah yang kebanyakan muslim. Mungkin
karena melihat tindak-tanduk dan cara berniaga mereka yang baik, ia pun
tertarik untuk mempelajari agama Islam, dan tak berapa lama kemudian ia pun
menyatakan diri masuk Islam. la pun berjodoh dengan seorang wanita muslim dari
Gujarat yang bernama Farhana bind Muhammad. Bersama-sama dengan isrinya,
Bratalegawa menunaikan ibadah haji ke Mekah. la pun beroleh nama Haji Baharudin
al-Jawi. Dari Mekah mereka ke Galuh. Kemudian di Galuh mereka menemui Ratu Banawati,
adiknya, sambil mengajak saudarinya itu masuk Islam. Tetapi upayanya sia-sia.
Mereka lalu tinggal di Caruban Girang dan mencoba mengajak kakaknya, Ki Gedheng
Kasmaya atau Giri Dewata untuk memeluk Islam, namun lagi-lagi gagal.
Kegagalan tersebut tidak menyebabkan
keretakan hubungan keluarga, semua saling menghormati kepercayaan dan agama
masing-masing. Bahkan ia beserta istrinya diberikan izin menetap di Caruban
Girang oleh Prabhu Niskala Wastu Kancana yang sekaligus kakak iparnya. Sebagai
haji pertama di Galuh, maka ia lebih dikenal dengan Haji Purwa Galuh. Dari
perkawinannya dengan Farhana, Haji Purwa beroleh putra bernama Akhmad yang
kemudian dikenal dengan sebutan Maulana Safiudin.
Setelah anaknya beranjak dewasa, Haji Purwa
bersama keluarganya pergi ke Gujarat. Di sana Akhmad dijodohkan dengan Rogayah
binti Abdullah, putri dari sahabat Haji Purwa. Dari perkawinannya ini Akhmad
mempunyai seorang putri bernama Hadijah, yang kelak setelah dewasa menikah
dengan saudagar dari Hadramaut. Suami Hadijah sudah sangat tua dan meninggal
sebelum mereka dikaruniai keturunan. Hadijah kemudian kembali ke Galuh
bersama-sama ke dua orang tuanya, lalu mereka tinggal di Dukuh Pasambangan.
Pada tahun 1420 mendaratlah Syekh Datuk Kahfi
alias Syekh Idopi alias Syekh Nurjati bersama pengiringnya berjumlah dua belas
orang yang terdiri dari sepuluh orang laki-laki, dua orang perempuan. Kedua
belas orang itu adalah utusan Persia (Sudjana 1987:27). Sebagaimana Syekh Quro,
Syekh Datuk Kahfi pun mendapatkan izin menetap berkat usaha Ki Gedheng Tapa.
Seterusnya ia menetap di Pasambangan, dan mendirikan pesantren Amparan Jati.
Ada pula kemungkinan izin raja Galuh Sunda Prabhu Niskala Wastu Kancana ini
turun, demi kelancaran perdagangan antara Galuh -dalam hal ini Singapura- dengan
para pedagang dari Timur Tengah, atau juga membuktikan bahwa wilayah-wilayah
pesisir Galuh adalah kawasan perdagangan bebas. Dari situ kemudian ia berjodoh
dengan Hadijah, buyut (putri cucu) Haji Purwa yang telah lama menetap di
Pasambangan. Dengan harta peninggalan suaminya terdahulu, Hadijah membantu
pembangunan pesantren Amparan Jati agar lebih baik dalam berbagai hal. Sebelum
menikah dengan Hadijah, ia sudah menikah dengan Sjarifah Halimah, kakak dari
Syarif Abdullah (ayah dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati). Dari
perkawinan tersebut mereka dikaruniai empat orang anak yakni MauIana
Abdurachman atau Syarif Abdurachman, Syarifah Baghdad, Maulana Abdurrachim atau
Syarif Abdurrachim, dan Maulana Chafid atau Syekh Datul Chafid. Keempat anaknya
tersebut diasuh oleh kakak dari Halimah, Sulaiman yang menjadi pembesar di
Baghdad.
Setelah beberapa lama, selang keberangkatan
Syekh Datuk Kahfi ke Jawa, keempat anaknya itu diusir dari Baghdad, oleh uwak
(pak de) mereka, Sulaiman. Pengusiran itu disebabkan kegemaran mereka berjalan
mengelilingi kota sembari menabuh rebana dan menggendong-gendong anjing.88 Mereka pun mengikuti jejak orang
tuanya pergi menuju tanah Jawa atau tepatnya di Amparan Jati. Selanjutnya
keempat kakak beradik itu menetap di sana bersama orang tua mereka. Kelak
Syarif Abdurrachman lebih dikenal dengan nama Pangeran Panjunan, sedangkan
Syarif Abdurrachim lebih dikenal dengan nama Pangeran Kejaksan.
Sebagaimana diketahui, Ki Gedheng Tapa
memiliki seorang putri yang bernama Nyai Subang Larang yang kecantikannnya pada
masa itu sangatlah terkenal. Mungkin karena banyaknya pelamar, diadakanlah
sebuah sayembara untuk menentukan siapa yang akan menjadi suaminya. Kejadian
itu berlangsung pada tahun 1422 M, dan lokasinya di Nagari Surantaka.
Sayembara adu jurit ini tidak diketahui
berapa jumlah pesertanya. Namun dalam partai puncak bertemulah dua orang satria
pilih tanding, yaitu Pangeran Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa putra Ningrat
Kancana, dengan Sang Prabhu Amuk Marugul atau Raden Panji Wirajaya Sang Amuk
Marugul Sakti Mandraguna penguasa Japura, putra dari Sang Haliwungan atau Susuk
Tunggal. Jadi mereka berdua adalah sama-sama cucu dari Raja Kerajaan Sunda
Galuh Pakuan yang berkuasa pada masa itu, Sang Prabhu Niskala Wastu Kancana.
Pada akhirnya pertarungan sengit itu dimenangkan oleh Pangeran Jayadewata. Sang
Amuk Marugul betul-betul takluk padanya. Sebagai tanda atas kekalahan dirinya,
ia pun mempersernbahkan adiknya Nyai Kentring Manik Mayang Sunda kepada
Jayadewata. Selain pertandingan itu, Syekh Hasanudin selaku guru Subang Larang
pun mengajukan syarat, boleh Subang Larang diperistri asal menjadi permaisuri
dan nanti setelah menikah, Subang Larang tetap diizinkan melaksanakan syariat
ajaran agama Islam yang dianutnya.
Kisah pernikahan Prabhu Siliwangi dengan Nyai
Subang Larang yang hidup di masyarakat Cirebon dalam bentuk dongeng kental
dengan napas Islam. Dalam dongeng itu Prabhu Siliwangi dan peserta lainnya
mengikuti sayembara untuk mencari lintang Kerti jejer satus (bintang Kerti berderet
seratus). Kisah itu juga menyebutkan bahwa Prabhu Siliwangi pergi ke Mekah. la
pun berhasil menemukan apa yang dimaksud dengan kalung lintang Kerti jejer
satus, berkat bantuan seseorang bernama Ki Guru, bahkan Ki Guru tersebut
berhasil mengislamkan Prabhu Siliwangi (Rais 1986:7-10).
Dalam masa kepemimpinannya, Ki Gedheng Tapa
selaku penerus Ki Gedheng Surawijaya Sakti dan sekaligus penerus Ki Gedheng
Sedhang Kasih, berhasil dengan baik membangun sebuah daerah pesisir yang baik
dan terbuka sesuai dengan citra manusia pesisir yang terbuka dan integratif. Di
tangannya Singapura dan Pelabuhan Muara Jati menjadi sebuah kekuatan yang tidak
pernah diperhitungkan oleh Kerajaan Galuh. Kelak dari sinilah cikal bakal
sebuah kerajaan baru yang dapat menenggelamkan Galuh secara perlahan-lahan.
Pemimpin yang dikenal antara lain Surawijaya
Sakti dan yang terakhir Ki Ghedeng Tapa atau Ki Jumajan Jati. Pada masa
pemerintahan Ki Ghedeng Tapa itulah dibangun Mercusuar yang pertama oleh
Laksamana Te Ho tahun 1415 Masehi. Mercusuar tersebut menjadi awal kebangkitan
kegemilangan Pelabuhan Cirebon. Singapura telah berdiri sebelum Prabu Siliwangi
naik tahta pada tahun 1428.
5. Keraton Japura
Tentang istilah Japura atau disebut juga
Angganapura, ada yang menyebutkan berasal dari nama putranya, yakni KI Agung
Japura, namun ada juga yang mengatakan bahwa Japura berasal dari kata
”Gajahpura” berarti gerbang masuk keraton yang berlambang gajah. Japura ada
pula yang menyebutkan berasal dari kata ‘jep’ (alat penangkap ikan atau udang)
dan ‘pura’. Dari keterangan ini dapat pula disimpulkan serta memperkuat
eksistensi Japura sebagai daerah pantai penangkapan dan penghasil ikan yang
baik. Pengertian lainnya, Japura merupakan singkatan ‘gajah’ dan ‘pura’,
artinya sebuah kota yang pada pintu gerbangnya terdapat ornamen gajah. Ada pula
yang berpendapat, bahwa nama Japura diambil dari tokoh legenda yang bernama
Gajah Pura atau Sri Gading yang pernah berperang melawan Gajah Paminggir karena
berebut seorang putri.
Keraton Japura adalah ibukota kerajaan Medang
Kamulan yang di pimpin oleh Raja Andahiyang, seorang raja keturunan Prabu Ciung
Wanara sepupuan dengan Raja Banyakwangi dari kerajaan Pajajaran. Kerajaan
Medang Kamulan memiliki seorang senopati yang sakti mandra guna bernama Amuk
Marugul. Keraton Medangkamulyan bernama Gajahpura. Kawasan Medangkamulyan
pada waktu meliputi : sebelah Utara : Laut Jawa, sebelah Timur :
Pulau Goseng (Gebang sekarang), sebelah Selatan : Manis – Luragung (
Kuningan , dan sebelah Barat : Sungai Kalijaga. Keraton Japura terletak di
sebelah Timur Cirebon, pusat pemerintahan meliputi Desa Japura Kidul, Japura
Lor dan Desa Astana Japura di Kecamatan Astana Japura, batas-batasnya meliputi
sebelah Utara Laut Jawa, sebelah selatan Desa Cibogo dan Desa Jatipiring, sebelah
Barat Desa Mundu Pesisir dan Desa Suci, dan sebelah Timur Desa Gebang.
Pemimpinnya yang terkenal adalah Amuk Marugul Sakti Mandra Guna, Prabu Amuk
Murugul adalah putra dari Prabu Susuk Tunggal penguasa keraton Pakuan
Pajajaran. Ia memilik seorang adik yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda
yang kemudian diperistri oleh Sribaduga Maharaja (Prabu Silihwangi). Karena
kesaktiannya yang sangat tinggi, Prabu Amuk Marugul hanya dapat dikalahkan oleh
Sri Baduga waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu
Siliwangi yang beragama Islam).
Kartani (2003:3) sangat tertarik untuk
mencatat berbagai sumber mengenai asal-usul nama Japura. Japura berasal dari
kata ‘ja’ dan ‘pura’. Dalam bahasa Kawi, ‘ja’ itu artinya ‘hidup’. Sedangkan
‘pura’ artinya, ‘depan’, ‘gerbang’, ‘kota’, ‘istana’. Jadi, Japura mengandung
pengertian ‘Kota Terdepan’. Kemungkinan besar nama ini juga terkait dengan kota
pantai, karena pada saat itu laut adalah jalur transportasi utama. Pusat nagari
ini diperkirakan terletak 17 km dari Giri Amparan jati yaitu Desa Astana Japura
Kecamatan Astana Japura Kabupaten Cirebon. Di lokasi tersebut terdapat sebuah
sumur yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai sumur keraton Nagari
Japura. Posisi pusat pemerintahannya tak jauh beda dengan Singapura atau
nagari-nagari pesisir lainnya pada masa itu yang dekat dengan pantai, hingga
bisa dipastikan senantiasa terdapat muara sungai untuk pelabuhan perahu-perahu
dagang atau nelayan setempat (Sunardjo 1983:22). Menurut Tom Pires (1513),
kemampuan Pelabuhan Japura sebanding dengan Muara Jati. Digambarkannya
Pelabuhan Japura yang terletak antara Cirebon dan Losari tersebut berpenduduk
2.000 orang, yang tersebar di berbagai dusun (Cortesao 1944:173-183).
Pada tahun 1422 terjadi peperangan antara
Japura melawan Singapura pimpinan Raden Pamanah Rasa. Serangan ini mungin
dilancarkan pihak Singapura karena melihat Nagari Japura yang merupakan negeri
pesisir yang ramai dikunjungi perahu-perahu asing, yang jelas dapat
membahayakan perekonomian Galuh. Japura oun kalah, kemudian nagari ini
bergabung dengan Singapura. Tak jelas siapa orang yang ditugasi menjadi
penguasa Japura setelah kalah oleh Singapura, apakah Pamanah Rasa atau orang
lain yang ditunjuk oleh Prabu Anggalarang, penguasa Galuh sekaligus ayah Pamanah
Rasa.
Japura diduga sebagai pemukiman tua, karena
jauh sebelum dikenal sebagai nagari yang kuat. Kartani (2003:6) menyebutkan ada
bukti arkeologis yakni sebuah situs yang berbentuk batu karang sebesar dan
setinggi anak kecil oleh masyarakat setempat disebut Bumi Segandu. Berdasarkan
pendapat para arkeolog, bahwa keberadaan Bumi Segandu merupakan tanda kepurbaan
dari lokasi itu dan sekitarnya serta keberadaan dan fungsinya diidentikkan
dengan menhir. Keberadaan Pelabuhan Japura tidak lepas dari pengelolaan yang
baik dari pemimpinnya, yakni Raden Panji Wirajaya Sang Amuk Marugul Sakti
Mandraguna. Nama ini begitu melekat dan jadi bagian tradisi tutur yang beredar
luas di masyarakat Cirebon terutama daerah sekitar Astana Japura. Bagi sebagian
orang nama dan gelarnya begitu mencerminkan kharisma, terkesan angker penuh
wibawa.
Selain memperhatikan perkembangan pelabuhan,
ia pun membangun dan mengembangkan pula sistem pengairan untuk rakyatnya yang
bekerja sebagai petani, dengan membangun sebuah dam yang disebut Telaga
Maharena Wijaya (Nagara Kretabhumi: 21). Telaga ini diperkirakan adalah Situ
Patok yang berada di Kecamatan Astana Japura sekarang. Oleh Pemerintah Belanda,
dam ini diperbaiki dan dioptimalkan fungsinya. Selain dari itu, Darma Loka yang
sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuningan, juga diduga dibuat atas
prakarsanya. Jika kita melihat situasi politik kerajaan Galuh Sunda Pakuan pada
umumnya, sepeninggal Prabhu Niskala Wastu Kancana yang wafat pada tahun 1475 M
dan dikebumikan di Nusa Larang, maka naiklah ke dua putranya. Pertama, Sang
Haliwungan atau Susuk Tunggal menduduki tahta di Sunda Pakuan, sedangkan
anaknya yang kedua, Ningrat Kancana berkuasa di Galuh Pakuan.
Ningrat Kancana naik tahta dengan gelar Dewa
Niskala. Tiga tahun setelah menduduki singgasana yaitu 1478 M terjadi peristiwa
penting di Pulau Jawa, Kerajaan Majapahit kala itu setelah dilanda
pemberontakan dan perang saudara dengan pasukan Islam dari Demak di bawah
pimpinan Adipati Demak Raden Patah atau Jin Bun, putra Prabhu Kertabhumi atau
Prabhu Brawijaya. Akibatnya banyak petinggi Majapahit yang mengungsi, di
antaranya Raden Baribin, saudara seayah Prabhu Kertabhumi.
Beserta keluarganya ia mengungsi hingga
sampai ke ibukota kerajaan Galuh Surawisesa (situs Astana Gede Kawali Ciamis).
Prabhu Dewa Niskala menerima dengan baik Raden Baribin beserta rombongan,
bahkan lebih dari itu, putrinya Ratna Ayu Kirana dinikahkan dengan Raden
Baribin. Selain itu, salah seorang gadis pengungsi Majapahit ada yang dinikahi
oleh Sang Prabhu Dewa Niskala. Padahal menurut hukum yang berlaku pada masa
itu, gadis itu berstatus sebagai gadis larangan, karena sudah bertunangan dan
belum dibatalkan pertunangannya. Prabhu Susuk Tunggal menjadi murka. Karena
dengan tindakan tersebut, jelas-jelas Prabhu Dewa Niskala sudah melanggar adat
yang ditabukan oleh keluarga keturunan Prabhu Wangi, yang gugur di Bubat.
Mereka bersumpah tidak akan melakukan perjodohan ataupun hubungan kekerabatan
dengan Majapahit. Dengan itu, Sang Susuk Tunggal menyatakan putus hubungan
kekerabatan, juga hubungan kenegaraan antara Sunda Pakuan dengan Galuh
Surawisesa.
Lama-kelamaan ketegangan itu semakin
meruncing, sehingga sesepuh kedua pihak yang berseteru berinisiatif untuk
mengadakan musyawarah. Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah keputusan, yaitu
baik Prabhu Susuk Tunggal maupun Prabhu Dewa Niskala harus bersedia turun dari
tahta mereka. Sebagai pengganti mereka berdua, maka disepakati Pangeran
Jayadewata atau Raden Pamanah Rasa yang naik tahta pada tahun 1482 M. Dia
dinobatkan dua kali pada tahun yang sama. Pertama, ia dinobatkan di Galuh
Surawisesa menggantikan ayahnya dengan gelar Prabhu Guru Dewataprana. Kedua, ia
menerima tahta dari Prabhu Susuk Tunggal sebagaimana hasil musyawarah para
pinisepuh, dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata.95 Keputusan
tersebut ditengarai menirhbulkan rasa tidak senang Sang Amuk Marugul terhadap
Raden Pamanah Rasa yang semakinmenjadi-jadi.Yang telah dipersiapkan Sang Prabhu Susuk
Tunggal, dengan begitu saja menjadi hak dari Jayadewata.
Ada kemungkinan terjadi kontak fisik atau
peperangan di antara mereka, sebab tercium upaya “pembelotan” dengan memperkuat
angkatan bersenjata. Demi pemantapan dan keutuhan kerajaan kiranya pantas hal
tersebut dilakukan oleh Pamanah Rasa yang mengemban titah dari para pinisepuh
untuk menyelamatkan kerajaan. Sunardjo meyakini peperangan itu terjadi jauh
sebelum Pamanah Rasa dinobatkan, yakni pada tahun 1422 M tak lama setelah
keduanya bertemu dalam sayembara. Sunardjo meyakini bahwa Japura jatuh dengan
gugurnya Amuk Marugul dalam peristiwa tersebut, dan untuk selanjutnya Japura
digabungkan dengan Singapura. Jayadewata melakukan aksi tersebut dalam
wewenangnya sebagai penguasa Surantaka, Sindang Kasih, sekaligus putra mahkota
kerajaan Galuh (Sunardjo 1983:23). Sementara Kartani (2004:3) berpendapat lain,
ekses hasil musyawarah tersebut tidak separah itu, tapi adanya
ketidakharmonisan keduanya patut diduga menimbulkan percikan api peperangan
sangat kuat. Keputusan itu memang berat sebelah, alias kurang adil, namun Amuk
Marugul dapat mengarifinya, ia memimpin Japura hingga masa senjanya.
Kepemimpinan Japura sepeninggal Amuk Marugul
digantikan oleh putranya Kyai Ageng atau Ki Gedheng Japura, hasil dari
perkawinan Amuk Marugul dengan Nyai Retna Ayu Mayang Sari, putri Ki Ageng
Sanggarung Raja Losari. Ki Ageng Japura memiliki putri bernama Nyai Mas Matang
Sari, kemudian ia dinikahi oleh Pangeran Panjunan. Dari perkawinan tersebut
lahirlah Pangeran Muhamad atau Pangeran Pelakaran. Pangeran Muhamad berputra
Pangeran Santri yang kemudian menikah dengan Nyai Mas Pucuk Umum dari Sumedang.
Inilah cikal bakal kerajaan Sumedang Larang.
B. Kesultanan Cirebon
Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam
historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang
ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan
pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan. Di antara naskah-naskah
yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad
Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan
lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon,
Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para
Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari
disebutkan bahwa asal mula kata ‘Cirebon’ adalah ‘sarumban’, lalu mengalami
perubahan pengucapan menjadi ‘Caruban’. Kata ini mengalami proses perubahan
lagi menjadi ‘Carbon’, berubah menjadi kata ‘Cerbon’, dan akhirnya menjadi kata
‘Cirebon’. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai ‘Puser Bumi’,
negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat
menyebutnya ‘Negeri Gede’. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi
‘Garage’ dan berproses lagi menjadi ‘Grage’. Caruban berasal dari kata Sarumban
yang berarti “ Campuran “. Penduduk setempat menamakan Carbon,
Cerbon, atau Cirebon. Ada juga yang menyebut Nagari Gede atau Grage, bahkan
dalam naskah lama disebut “ Puseur Bhumi “ yang berarti Poros Dunia atau tempat
pusat syiar (dakwah) agama Islam.
Bangsa Portugis menyebut daerah ini Charabaon
atau Cheroboam, sedangkan dalam dokumen Belanda ditulis Tsjeribon, Chirrebon,
Sirrebon, atau Cheribon. Sebuah sumber manuskrip Cina Shun Feng Hsiang Sung
(1430 Masehi) menyebut wilayah ini Che Li Wen.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung
jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan
terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana.
Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti
Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari
(ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis
oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-17 menyebutkan bahwa kota Cirebon
berasal dari kata cai dan rebon (udang kecil). Nama tersebut
berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu
membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari
Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata cirebon adalah perkembangan kata
caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat
percampuran penduduk.
Berbagai sumber menyebutkan tentang
asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber
lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng
Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki
Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri
bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden
Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.
Karena Raden
Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi puteri Ki
Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga
Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak,
yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara
Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden
Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan
tinggal di rumah Pendeta Budha Ki Gedeng Danuwarsih.
Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai
Endang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada
Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru,
yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama
menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden
Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau
Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang Sunda,
Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini ‘caruban’, artinya
campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.
Atas saran gurunya, Raden
Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya,Nyai Lara Santang. Di
Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar
Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara
Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini,
lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung
Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi
salahseorang Wali Sanga, merupakan generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Sesudah adiknya kawin, Ki
Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah
air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya
menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki
Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana.
Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran
Cakrabuanamendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri
Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran
Cakrabuana.
Setelah berguru di berbagai negara, kemudian
berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali
lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif
Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan
uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah tiba di
pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Amparan
Jati, dan mengajar Agama Islam, menggatikan Syekh Datuk Kahfi. Syekh
Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya
dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya
meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi
Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana, di samping menikahi Nyai Lara
Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Jati kemudian pergi ke Banten
untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang
keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan memberikan
adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten,
lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana
Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana
meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun
kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari
Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sejak tahun 1479
itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat
Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai
kota perdagangan terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke
Malaka. Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya
yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang
memberitakan Cirebon periode awal, adalahMedez Pinto yang pergi ke Banten
untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis
de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama
yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota
dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Sejak awal berdirinya, batas-batas wilayah
Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan
Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai
Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana
Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon
atau Banten? Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan
tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon
pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu
dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih
diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama,
merupakan salah satu alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon
sebagai daerah taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi
Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang.
Ketika Panembahan Ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh
cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya
dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki tiga anak, yaitu
Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.
Sejak tahun 1678, di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi
tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya,
atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang
dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom
I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau
Panembahan Cirebon I.
1.
Keraton Kasepuhan
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1592
oleh Pangeran Mas Mohammad Arifin II yang menggantikan tahta dari
Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati
Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati,
sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati II.
Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran
Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun
1549 dalam Mesjid Agung Sang Ciptarasa dalam usia yang sangat tua.
Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama
Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
silsilah Keraton Kasepuhan adalah sebagai
berikut.
a. Pangeran Pasarean (P. Muhammad
Arifin)
b. Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning)
c. Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin)
d. Pangeran Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam)
e. Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya)
f. Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja (Sultan Sepuh I)
g. Djamaludin (Sultan Sepuh II)
h. P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III)
i. P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV)
j. P. Sjafiudin/Sultan Matangadji (Sultan Sepuh V)
k. P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI)
l. P. Djoharudin (Sultan Sepuh VII)
m. P. Radja Udaka (Sultan Sepuh VIII)
n. P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX)
o. P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X)
p. P. Radja Aluda Tajul Arifin (Sultan Sepuh XI)
q. P. Radja Radjaningrat (Sultan Sepuh XII)
r. P.R.A.DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (Sultan Sepuh XIII)
s. P.R.A Arief Natadiningrat. SE (Sultan Sepuh XIV)
b. Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning)
c. Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin)
d. Pangeran Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam)
e. Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya)
f. Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja (Sultan Sepuh I)
g. Djamaludin (Sultan Sepuh II)
h. P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III)
i. P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV)
j. P. Sjafiudin/Sultan Matangadji (Sultan Sepuh V)
k. P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI)
l. P. Djoharudin (Sultan Sepuh VII)
m. P. Radja Udaka (Sultan Sepuh VIII)
n. P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX)
o. P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X)
p. P. Radja Aluda Tajul Arifin (Sultan Sepuh XI)
q. P. Radja Radjaningrat (Sultan Sepuh XII)
r. P.R.A.DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (Sultan Sepuh XIII)
s. P.R.A Arief Natadiningrat. SE (Sultan Sepuh XIV)
2. Keraton Kanoman
Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak
lepas dari Cirebon.Sunan Gunung
Jati adalah orang yang bertanggung jawab menyebarkan agama Islam di Jawa
Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.Keraton Kanoman didirikan oleh Pangeran
Mohamad Badridin atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I pada
sekitar tahun 1678 M.
Silsilah Keraton Kanoman adalah sebagai
berikut.
a. Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
b. Sultan Kanoman II ( Sultan Muhammad Chadirudin)
c. Sultan Kanoman III (Sultan Muhammad Alimudin)
d. Sultan Kanoman IV (Sultan Muhammad Chaeruddin)
e. Sultan Kanoman V (Sultan Muhammad Imammudin)
f. Sultan Kanoman VI (Sultan Muhammad Kamaroedin I)
g. Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin II)
h. Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
i. Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
j. Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
k. Sultan Kanoman XI (Sultan Muhamamad Jalalludin)
l. Sultan Kanoman XII (Sultan Muhamamad Emiruddin)
b. Sultan Kanoman II ( Sultan Muhammad Chadirudin)
c. Sultan Kanoman III (Sultan Muhammad Alimudin)
d. Sultan Kanoman IV (Sultan Muhammad Chaeruddin)
e. Sultan Kanoman V (Sultan Muhammad Imammudin)
f. Sultan Kanoman VI (Sultan Muhammad Kamaroedin I)
g. Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin II)
h. Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
i. Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
j. Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
k. Sultan Kanoman XI (Sultan Muhamamad Jalalludin)
l. Sultan Kanoman XII (Sultan Muhamamad Emiruddin)
3. Keraton Kacirebonan
Kacerbonan merupakan pemekaran dari
Keraton Kanoman setelah Sultan Anom IV yakni Pangeran Raja Muhammad
Khaerudin wafat, Putra Mahkota yang seharusnya menggantikan tahta
diasingkan oleh Belanda ke Ambon karena dianggap sebagai pembangkang dan
membrontak. Ketika kembali dari pengasingan tahta sudah diduduki oleh Pangeran
Raja Abu Sholeh Imamudin. Atas dasar kesepakatan keluarga, akhirnya PR Anom
Madenda membangun Istana Kacerbonan, kemudian muncullah Carbon I sebagai
Pangeran Kacirebonan pertama.
Kedudukan Cirebon yang berada pada
bayang-bayang pengaruh Mataram. ketika Amangkurat I berkuasa dari
tahun 1646 hingga 1677. Masa pemerin tahan yang ditandai dengan banyaknya
pergolakan agaknya menjadi faktor penting mengapa Cirebon semakin menjadi lemah.
Pada zaman Amangkurat I, penguasa Cirebon Panembahan Ratu II, cucu Panembahan
Ratu, atas permintaan Mataram berpindah ke Girilaya. Kepergiannya dari
Keraton Cirebon ke daerah dekat ibukota Mataram ini disertai oleh kedua
puteranya, yakni Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya. Sebagai
pengganti kedudukannya selaku Sultan Cirebon, ditunjuk puteranya yang paling
bungsu, yaitu Pangeran Wangsakerta.
Panembahan Ratu wafat pada tahun 1662 Masehi.
Sebelum meninggal beliau membagi kerajaannya menjadi dua yang diwariskan kepada
kedua puteranya itu. Pangeran Martawijaya diangkat sebagai Panembahan Sepuh
yang berkuasa atas Kasepuhan. Sedangkan Kertawijaya ditunjuk sebagai Panembahan
Anom yang berkuasa atas Kanoman. Sementara itu, Raja Amangkurat I yang
kurang bijaksana menimbulkan kebencian di kalangan istana dan
penguasa-penguasa daerah yang lain. Dengan didukung oleh seorang pangeran dari
Madura bernama Tarunajaya, sang putera mahkota mengadakan
pemberontakan. Sayangnya, usaha mereka menentang Amangkurat I tidak berhasil
karena perpecahan antara keduanya.
Raja Amangkurat I kemudian meninggal
di Tegalwangi setelah melarikan diri dari ibukota Mataram. Dalam
pertempuran tersebut, kedua pangeran dari Cirebon itu memihak pada pihak
pemberontak. Kira-kira tahun 1678 Masehi, kedua bangsawan pewaris tahta Cirebon
kembali ke tanah kelahirannya. Dengan demikian kini di Cirebon bertahta dua
sultan, Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan dan Sultan Anom Keraton Kanoman.
Silsilah Keraton Kacirebonan adalah sebagai
berikut.
a. Pangeran Carbon Kaceribonan
b. Pangeran Madenda
c. Pangeran Denda Wijaya
d. Pangeran Raharja Madenda
e. Pangeran Madenda
f. Pangeran Sidek Arjaningrat
g. Pangeran Harkat Nata Diningrat
h. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
i. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
b. Pangeran Madenda
c. Pangeran Denda Wijaya
d. Pangeran Raharja Madenda
e. Pangeran Madenda
f. Pangeran Sidek Arjaningrat
g. Pangeran Harkat Nata Diningrat
h. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
i. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
4. Keraton Kaprabonan
Keraton Kaprabonan mulai berdiri pada tahun
1696 M yang dipimpin oleh Pangeran Raja Adipati Kaprabon dengan cita-citanya
mengembangkan agama Islam sesuai perjuangan para Waliyullah terdahulu, terutama
karuhunnya Sunan Gunung Jati. Pada saat itu gejolak politik pemerintahan
Belanda semakin memanas, dan perlawanan-perlawanan terhadap kolonial Belanda
pun masih terus berjalan, sehingga Pangeran Raja Adipati Kaprabon ingin
menjauhkan diri dari situasi tersebut dan selalu mengkhususkan diri (Mandita)
dalam mengembangkan agama Islam kepada para murid-muridnya, beliau tetap
mendukung perjuangan adiknya untuk mengusir kolonial Belanda walaupun tidak
sampai berhasil karena pada saat itu kekuatan kolonial Belanda semakin besar
dengan telah dibentuknya Pemerintahan Residen Belanda yang dipimpin oleh
Delamoor. Kepemimpinan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat kuat dengan
politik pendekatan persuasif dengan Kesultanan dan para tokoh masyarakat pada
saat itu.
Pangeran Raja Adipati Kaprabon tetap memegang
komitmen melaksanakan amanat dari Gusti Susuhunan Jati Syech Syarief
Hidayatullah, yaitu “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin”. Maka dengan
demikian beliau tetap tekun memperdalam agama tareqat dan menyebarkannya kepada
para muridnya di sekitar wilayah Cirebon, bahkan banyak dari luar wilayah
Cirebon yang berdatangan untuk menjadi muridnya, seperti dari wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada waktu diangkat
menjadi Sultan Pandita Agama Islam Tareqat beliau telah diwarisi sebilah keris
pusaka yang bernama Ki Jimat oleh Sultan Kanoman Pangeran Muhammad Badrudin dan
beberapa kitab keagamaan maupun kitab pusaka dan sejarah yang sampai sekarang
masih ada dan berjumlah lebih dari 100 kitab dan tersebar di 4 pengguron.
Keris Ki Jimat di dalamnya terukir dengan
guratan emas dan tertulis Arab yang bermakna kalimat Tauhid dan keselamatan
dunia akhirat. Setelah pesatnya perkembangan kemurdan keagamaan, 11 tahun
kemudian Pangeran Raja Adipati Kaprabon pada tahun 1707 M mendirikan Langgar
atau Tajug untuk tempat belajar ngaji dan agama agar proses belajar tersebut
dapat berjalan dengan lancar dan baik, yang akhirnya juga dapat dijadikan
tempat untuk pertemuan menyusun perjuangan melawan Belanda pada waktu itu.
Dalam setiap perjuangannya untuk mengadakan
pelawatan ke daerah-daerah lain, P.R.A. Kaprabon menggunakan kereta berkuda
yang dikawal oleh beberapa abdi dalemnya. Dengan kelincahan dan kepandaiannya
dengan dalih agama, beliau tidak pernah ditangkap oleh tentara Belanda pada
waktu itu, dan penyebaran agamanya pun cukup berhasil sampai ke
pelosok-pelosok.
Silsilah Keraton Kaprabonan adalah sebagai
berikut.
a. Pangeran Kusumawaningyun Kaprabon
(1734 – 1766)
b. Pangeran Brataningrat Kaprabon (1766 – 1798)
c. Pangeran Raja Sulaiman Sulendraningrat Kaprabon (1798 – 1838)
d. Pangeran Arifudin Kusumabratawirdja Kaprabon (1838 – 1878)
e. Pangeran Adikusuma Adiningrat Kaprabon (1878 – 1918)
f. Pangeran Angkawijaya Kaprabon (1918 – 1946)
g. Pangeran Aruman Raja Kaprabon (1946 – 1974)
h. Pangeran Herman Raja Kaprabon (1974 – 2001)
i. Pangeran Hempi Raja Kaprabon (2001 – sekarang)
b. Pangeran Brataningrat Kaprabon (1766 – 1798)
c. Pangeran Raja Sulaiman Sulendraningrat Kaprabon (1798 – 1838)
d. Pangeran Arifudin Kusumabratawirdja Kaprabon (1838 – 1878)
e. Pangeran Adikusuma Adiningrat Kaprabon (1878 – 1918)
f. Pangeran Angkawijaya Kaprabon (1918 – 1946)
g. Pangeran Aruman Raja Kaprabon (1946 – 1974)
h. Pangeran Herman Raja Kaprabon (1974 – 2001)
i. Pangeran Hempi Raja Kaprabon (2001 – sekarang)
matur kesuwun sanget
BalasHapus